KSNews — Kepulauan Seribu bukan sekadar gugusan pulau wisata. Ia adalah ruang hidup, ruang lintas, dan ruang harap bagi puluhan ribu warga Jakarta yang tinggal di lautnya. Transportasi laut adalah urat nadi, bukan sekadar moda—di sinilah cerita modernisasi diuji.
Sejak era 1970-an, kapal layar motor dan pelayaran rakyat menjadi tulang punggung mobilitas antarpulau. Kapal-kapal tradisional itu mengangkut warga dari dermaga sederhana menuju pulau-pulau kecil, menghubungkan dunia mereka dengan ibu kota.
Namun, hingga kini, pemberdayaan kapal tradisional itu belum tuntas. Regulasi seperti UU Pelayaran 2008 dan berbagai peraturan turunannya hadir di atas kertas, tetapi di lapangan armada pelayaran rakyat dibiarkan berjalan dengan sistem lama.
Pada 2012, para pemilik kapal tradisional sempat mogok beroperasi sebagai bentuk protes terhadap kurangnya perhatian pemerintah. Armada yang dahulu berjumlah puluhan kini menyusut drastis, sebagian besar dalam kondisi tidak layak operasi.
Kisah panjang itu menunjukkan bahwa transportasi laut di Kepulauan Seribu masih terjebak di antara sejarah kejayaan pelayaran rakyat dan ambisi modernisasi yang tak pernah benar-benar inklusif.
Modernisasi yang Menyisakan Luka
Penghentian mendadak operasional kapal tradisional milik PT Samudra Sumber Artha (SSA) dan PT Antar Pulau Seribu (APS) pada akhir Juli 2025 memberi kita cerminan keras bagaimana birokrasi memandang laut. Alasannya: belum memenuhi kelengkapan perizinan tiket elektronik. Dampaknya: warga tak bisa pulang.
Puluhan calon penumpang, termasuk lansia dan anak-anak, terlantar di Pelabuhan Kali Adem. Agen wisata mengaku rugi besar karena perjalanan yang sudah dijadwalkan batal mendadak.
KSOP Muara Angke dan UPPD Dishub DKI Jakarta berdalih bahwa penghentian operasional ini semata demi keselamatan dan legalitas. Namun, minimnya sosialisasi, absennya skema transisi, dan nihilnya ruang dialog menunjukkan bahwa modernisasi dijalankan bukan dengan inklusi, tetapi dengan penutupan akses.
Komentar netizen di media sosial menggambarkan kegelisahan itu. “Modern boleh, tapi jangan kebablasan. Transportasi tradisional adalah tulang punggung ekonomi masyarakat,” tulis Gofar Abdul.
“Orang pribumi terasa asing di tempatnya sendiri,” sindir Siget Said Apluse, menyinggung bagaimana kebijakan yang sepihak mengubah wajah pelabuhan menjadi ruang yang tak lagi ramah bagi warga pulau.
Rapat koordinasi yang dipimpin Polres Pelabuhan Tanjung Priok hanya melibatkan pemangku kebijakan, tanpa menghadirkan perwakilan masyarakat pulau yang terdampak langsung. Padahal, merekalah yang paling merasakan dampak dari setiap keputusan.
Pertanyaan besar pun muncul: Apakah digitalisasi ini solusi nyata, atau sekadar pembatas baru? Apakah sistem e-ticketing yang diterapkan benar-benar mengakomodasi warga, atau justru memperlebar jurang antara daratan dan lautan?
Modernisasi yang Berkeadilan
Jika modernisasi adalah tujuan, maka transisi harus menjadi jembatan, bukan tembok. Pemerintah daerah tidak boleh hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga fasilitator dan mediator.
Pelatihan bagi operator kapal, penyediaan subsidi bagi armada tradisional, serta pembukaan akses literasi digital bagi warga pulau adalah kunci. Transformasi tidak boleh mematikan tradisi yang sudah mapan, tetapi memperkuatnya.
Digitalisasi transportasi laut harus diawali dengan audit literasi dan survei sosial. Bukan sekadar pengadaan aplikasi, tetapi membangun ekosistem yang memberdayakan warga, agar mereka menjadi aktor, bukan korban dari sistem baru.
Integrasi transportasi laut Kepulauan Seribu ke dalam skema BUMD publik seperti JakLingko juga harus dipercepat. Namun, ini harus dibarengi penguatan kapasitas lokal agar kapal tradisional tetap eksis di tengah tuntutan keselamatan dan teknologi.
Transportasi laut di Kepulauan Seribu adalah urusan keadilan, bukan sekadar logistik. Modernisasi yang tidak adil hanya akan melahirkan ketimpangan baru: antara daratan dan lautan, antara kebijakan dan kenyataan.
Semangat 80 tahun kemerdekaan harus merambah hingga ke laut. Bukan hanya dengan bendera di dermaga, tetapi dengan memastikan akses mobilitas warga benar-benar merdeka: aman, terjangkau, dan inklusif.
Kepulauan Seribu punya sejarah pelayaran, masyarakat maritim yang tangguh, dan mimpi maritim besar. Sudah saatnya kemerdekaan transportasi laut tidak lagi ditunda.
Disclaimer:
Editorial ini merupakan pandangan redaksi KSNews yang menggabungkan data, laporan lapangan, dan aspirasi publik. Tujuannya mendorong diskusi kritis dan kebijakan transportasi laut Kepulauan Seribu yang lebih adil.