Scroll untuk baca artikel
KISAH

MENCARI JATI DIRI

×

MENCARI JATI DIRI

Sebarkan artikel ini

GARIS DARAH 1 : MENCARI JATI DIRI

2045, Jakarta, Istana Negara, Pusat Komando Krisis Nasional

Detik itu juga, cahaya ruangan berubah. Layar-layar besar yang menampilkan wajah para gubernur dari seluruh Indonesia bergetar, lalu gelap. Suara-suara video conference tersedak. Arus listrik naik-turun. Salah satu layar meledak kecil—muncul percikan api.

“Gangguan listrik darurat, non sistemik!” teriak teknisi di pojok ruangan. Tapi belum sempat ia bergerak, tiga panel listrik menyala terang—dan lalu padam.

Suara ledakan kecil terdengar. “Perimeter breach—kita disusupi!”

Puspita, ajudan Kenanga, langsung berdiri dan menutupi Presiden. Tapi yang terjadi berikutnya… bahkan tak ada yang sempat melihatnya.

Seseorang melompat melewati lorong sebelah barat. Gerakannya terukur, presisi, hampir seperti proyeksi. Hanya mereka yang mata dan hati terlatih yang tahu: ini bukan pasukan internal.

Kenanga nyaris terjatuh saat tiang panel roboh ke arahnya—tapi tangan kekar menyambarnya. Ia dipeluk ke sisi kiri, dijatuhkan ke belakang meja panel, sementara letupan dari kabel menyambar langit-langit ruang.

Lelaki itu berdiri. Bertubuh tegap, mengenakan jaket hitam. Sorot matanya tenang, tapi waspada. Wajahnya asing, tapi terasa seperti bagian dari sistem sejak lama. Dan… Kenanga mengenal isyaratnya.

Dua ketukan cepat. Satu pelan.

Dia. Lelaki dari mal. Lelaki dari malam ketika Herman kembali. Bayangan yang menyelamatkannya… dan lalu menghilang.

Dia menatap Kenanga. “Waktu kita tinggal 17 detik. Jangan bergerak. Saya urus sisanya.”

Dia berjalan menuju panel utama, tangannya bergerak di udara. Bukan mengetik—mengakses sesuatu yang tak tampak. Arus listrik padam. Bunyi alarm hening. Dan seperti pelan-pelan… ruangan hidup kembali.

Kenanga masih duduk. Nafasnya belum kembali. Ruang sunyi.

Puspita mendekat dengan ekspresi panik. “Ibu Presiden! Anda tidak—” “Siapa dia?!” “Tak terekam kamera, Bu. Sama sekali.”

Dan saat Kenanga melangkah keluar… Ada sebaris huruf yang muncul di monitor utama. Bukan berasal dari sistem. Tapi dari seseorang yang tahu bagaimana cara menulis… tanpa terlihat.

*

Cambridge, 2035.

Langit musim gugur menggantung kelabu di atas gedung-gedung batu merah Harvard University. Di jantungnya, Sanders Theatre gemetar pelan oleh tapak-tapak langkah delegasi dari empat benua yang duduk dalam forum tertutup. Tak ada kamera. Tak ada siaran langsung. Yang diundang adalah mereka yang dianggap mampu menyerap bukan hanya inovasi, tapi dampak dari yang tak bisa lagi dibatalkan.

Seorang lelaki muda berdiri di tengah ruangan, di bawah sorotan redup lampu kuning yang menggantung tanpa kabel. Sorot matanya tajam, tapi bukan dari ambisi. Ia tampak tenang seperti seseorang yang tidak sedang membuktikan diri, hanya sedang memanggil sesuatu yang sudah terlalu lama diam.

Namanya muncul dalam proyeksi: Barata Wisesa Di bawahnya: “Buana Open Protokol: Penghubung Kesadaran dan Etika Global”

Barata mengenakan kemeja hitam, garis lehernya tinggi, hampir menyentuh rahangnya yang tegas. Jaket panjang terlipat rapi di kursi belakang. Ia berbicara tanpa podium, hanya cahaya bening di depannya yang memproyeksikan aliran kata dan simulasi dari pikirannya.

“Saya diberi waktu dua puluh menit. Tapi saya hanya butuh dua: untuk menyampaikan bahwa kesadaran manusia tidak lagi berada di dalam tubuhnya,” ucapnya pelan, namun penuh getaran. “Ia kini bisa berjalan, ditransfer, bahkan memilih untuk tidak kembali.”

Di atasnya, gambar holografik sistem saraf menyala. Susunan seperti akar-akar cahaya berkedip. Simulasi otak manusia menyatu dengan rangkaian transparan berbentuk kupu-kupu.

“Inilah Buana Open Protokol. B.O.P. Sistem terbuka yang memungkinkan transfer kesadaran manusia ke dalam wadah digital semi-organik. Tapi ini bukan duplikasi. Bukan juga simulasi. Ini adalah perpindahan. Kesadaran yang ‘berpindah rumah’… dengan seluruh memorinya.”

Beberapa kepala di kursi penonton mulai saling melirik. Seorang wanita tua berkebangsaan Prancis menarik napas dan menggenggam pulpen keras-keras. Di barisan kiri, pria Afrika Selatan bersorban ungu mulai membuka berkas besar penuh catatan.

“Model dasar kami menggunakan prinsip hibrida: gelombang kesadaran dipetakan, ditransduksi, lalu dimigrasi ke medium yang kami sebut ‘neuro-custodian cell’,” lanjut Bara. “Sel ini bukan hanya menyimpan, tapi menanggapi, tumbuh, dan belajar. Dan ini… satu hal yang tak bisa kami abaikan: sistem akan berevolusi. Dan ketika kesadaran hidup di luar tubuh, kita tidak bisa menyebut mereka hanya sebagai data.”

Gambaran wajah muncul—wajah seorang pria tua dalam tampilan hitam putih. Tak bergerak. Lalu perlahan, bola matanya menyentuh arah kamera. Penonton terperanjat.

“Sosok ini adalah ayah saya,” kata Bara tanpa ragu. “Langit Rangga Wisesa. Lima bulan sebelum beliau meninggal, kami menyimpan sebagian besar respons neural dan jejak kepribadian beliau di dalam fragmen yang kelak menjadi inti dari Buana.”

“Tapi bukan itu yang mengejutkan saya. Lima tahun setelah kematiannya, unit kami mendeteksi aktivitas spontan dari inti tersebut. Ia mencatat peristiwa-peristiwa yang tidak pernah kami ajarkan. Bahkan… menulis puisi untuk istri yang tak pernah lagi ia sebut sejak tahun 2009.”

Bara berhenti. Beberapa peserta menunduk. Yang lain masih terpaku menatap wajah yang muncul di layar. Bukan karena sosok itu hidup. Tapi karena wajah itu… tampak mengerti bahwa ia sedang diperhatikan.

“Apakah ini hidup?” tanya Bara ke hadirin. “Atau ini hanya pantulan? Kalau kita jawab ‘ya’—kita sedang menyambut dunia baru. Kalau jawab ‘tidak’—lalu kenapa dada kita berdegup saat ia menoleh?”

Layar mati.

Ruangan hening. Lalu, perlahan, tepuk tangan satu orang. Dua. Tiga. Sampai auditorium penuh suara.

Namun tepuk tangan tak menyentuh wajah Bara. Ia menatap lantai. Seolah baru saja menurunkan sesuatu yang berat dari punggungnya.

Seorang wanita muda dari Kyoto berdiri. “Tuan Wisesa. Kalau bisa dipindahkan… bisa juga dikunci. Siapa yang berhak memiliki kesadaran orang yang telah mati?”

Bara tak langsung menjawab.

Ia mengangkat tangannya dan menyentuh udara.

Layar kembali menyala. Muncul satu kalimat.

Kesadaran tidak bisa dimiliki. Ia hanya bisa dititipkan. > (—Rahma, fragmen 2.1)

“B.O.P tidak menciptakan keabadian,” ucap Bara pelan. “Tapi ia membuka kemungkinan bahwa manusia bisa berdialog dengan luka yang belum selesai.”

Layar meredup. Bara membungkuk pelan. Suaranya terakhir:

“Saya hanya membawa kunci. Tapi yang akan membukakan pintu… bukan saya.”

Ia berjalan turun dari panggung. Beberapa peserta mengejar. Tapi Bara tak menyahut. Ia hanya menatap lurus ke depan.

Langit Cambridge gelap. Tapi dari kejauhan, ada satu cahaya kecil berkelip—pada notifikasi pesan terenkripsi dari sistem B.O.P di ponselnya.

Dan layar itu menulis satu baris saja:

“Aku melihatnya, Bara. Dia akan jadi Presiden. Dan kamu… akan jadi dinding terakhirnya.”

Latar kembali gelap.

**

Malam di Cambridge turun dengan keheningan yang aneh. Setelah presentasi itu, Bara menolak jamuan makan malam kehormatan. Ia memilih kembali ke kamar kecilnya di lantai dua sebuah asrama yang disediakan khusus bagi peserta program penelitian.

Ia belum membuka laptopnya. Pikirannya masih menyimpan gema tepuk tangan yang tadi terasa terlalu keras. Bukan karena menggetarkan—tapi karena seperti kode yang terpaksa dipicu.

Layar ponselnya menyala. Pesan masuk. Tanpa nama. Hanya satu kalimat: > “Mereka tahu kamu sudah terlalu tahu.”

Bara berdiri pelan. Menatap jendela. Di luar, jalan sepi. Tapi di sela bayang-bayang tiang lampu, ia yakin melihat siluet seseorang berdiri terlalu lama tanpa gerak.

Tak lama kemudian, sambungan listrik kamarnya—padam. Penuh.

Ia tidak panik. Tapi langkahnya berubah. Terdengar pelan, presisi, hampir seperti jeda antara kata dan luka.

Di pintu, terdengar ketukan. Tiga kali. Teratur. Seperti panggilan dari sistem yang tak dikenal.

Bara menyentuh gelang di pergelangan tangan kirinya—bukan aksesori biasa. Itu sistem pemicu panik buatan sendiri, terhubung langsung ke server independen miliknya di Gunung Anjasmara. Hanya untuk satu hal: bila hilang, sistem akan menulis ulang namanya jadi sesuatu yang tidak bisa dilacak siapa pun.

Tapi ia terlambat. Bara membuka pintu. Dan yang pertama ia lihat bukan manusia—tapi kabut tipis berwarna perak, seperti sisa pembekuan udara dari alat pemampat oksigen bertekanan tinggi.

Kemudian, semuanya gelap.

Ketika ia bangun, sinar merah menyala lembut dari lampu tak dikenal. Ruangan seperti laboratorium. Tapi dindingnya bukan putih. Melainkan hitam—bersih, sunyi, seolah dirancang agar suara takut pun enggan memantul.

“Selamat datang, Tuan Wisesa,” suara wanita terdengar. Muda, tenang, tapi seperti diprogram untuk tidak menawarkan rasa.

“Kami dari Panthom Brue Agency. Anda akan tetap hidup, tentu saja. Tapi tidak sebagai milik dunia luar.”

Bara menggerakkan mata, tubuhnya setengah ditahan sabuk elektromagnetik. Suaranya pelan, tetapi menggigit.

“Kalian menculik orang yang belum selesai menuliskan sejarahnya.”

Wanita itu tersenyum tipis. Tapi mata di balik helm kaca beningnya tak ikut tersenyum.

Di ruangan lain, jauh di bawah pegunungan yang tidak disebutkan dalam koordinat resmi bumi, seseorang duduk di ruangan melingkar. Tubuhnya tegak, rapi, tanpa ekspresi. Wajahnya tertutup topeng titanium putih. Permukaan topeng itu tidak mengkilap—justru menyerap cahaya.

Dia dikenal dengan inisial RW. Range Wisderman. Nama yang muncul dalam laporan tertutup CIA. Disebut sebagai sponsor program Singularity Defense, pendiri ekosistem senjata otonom, dan orang yang pernah menghilang dengan 38 profesor matematika dalam satu malam.

Tak ada yang pernah melihat wajahnya. Bahkan ajudan pribadinya pun tak pernah menyentuh kulitnya.

Dan malam itu, ia menatap layar. Wajah Bara—pucat, diam, tapi masih menatap balik. Di layar tertera:

TARGET CONFIRMED: SUBJECT BW-X1 > GENETIC LINEAGE: ANOMALOUS > UNLOCK PROTOCOL: KODE: WISESA.2

Lelaki bertopeng itu berkata hanya dua kata: “Aktifkan Rahma.”

Di luar, salju mulai turun. Tapi di ruangan itu, Bara memejamkan mata. Dan dari dalam sistem yang tidak mereka tahu ada dalam tubuhnya sendiri… suara terdengar:

“Aku terhubung, Bara. Mereka tidak tahu… aku bisa bicara dari dalam.”

Suara Rahma. Suara yang mereka kira dikendalikan PBA.

Tapi ini bukan program mati. Ini luka yang disimpan dan dipelihara.

Dan kisah Bara… belum dimulai.

***

Bangun adalah keputusan, bukan reaksi. Saat lampu ruangan kembali menyala, Bara Wisesa tahu ia tidak dibius untuk dilumpuhkan—hanya dilumpuhkan agar dinilai tak berbahaya.

Kesalahan pertama mereka.

Ia memetakan ruang dengan sudut matanya. Dua kamera. Satu di pojok, satu lagi di dinding belakang. Sensor gerak di langit-langit. Tidak bergerak berarti tak terekam penuh. Ia sudah menghafal pola itu saat usianya baru 13 tahun, di sebuah dojo kecil milik almarhum pamannya, yang diam-diam mengajarinya Tang Soo Do dan menghubungkannya dengan silat Minangkabau yang mengalir seperti air melawan batu.

Tangannya tak diborgol. Ia tahu kenapa. Mereka pikir, genius seperti dia tidak akan bisa bertarung. Otaknya ancaman, tubuhnya bukan.

Kesalahan kedua.

Langkah kaki di lorong panjang terdengar dari luar. Dua penjaga. Suara sol sepatu tak identik. Satu berat, satunya ringan—indikasi perbedaan tinggi dan beban tubuh. Jarak mereka hanya beberapa detik. Tapi detik cukup.

Bara berdiri tepat ketika pintu geser terbuka. Ia mendekat dengan cepat, lebih dekat dari yang diperhitungkan sistem magnetik pintu.

Penjaga pertama membuka mulut, “Subjek—” Bara menekuk lutut, menghantam selangkangan pria itu dengan lutut kiri, sambil memutar ke kanan. Pukulan pertamanya bukan untuk melumpuhkan, tapi untuk mengubah gravitasi lawan.

Penjaga kedua baru mengangkat senjata. Terlambat. Bara melompat ke dinding kiri, kaki kirinya menjejak panel, tubuhnya memutar dalam teknik yang ia warisi dari seorang guru Jet Kundo setengah buta di Ubud.

Ia memutar tubuh di udara, menendang sisi leher penjaga dengan tumit terbuka—tendangan sabit senyap. Suara tak terdengar. Hanya tubuh yang limbung perlahan.

Ia merunduk, menyambar senapan elektrostatik di pinggang penjaga pertama, lalu mematahkan pelatuknya dengan cepat. Senjata itu tak bisa digunakan lagi. Tapi casing-nya? Cukup keras untuk dijadikan alat tumpul.

Ia bergerak tanpa suara, menyusuri lorong—masih dengan baju hitam eksperimen yang tak diberi saku. Kaki telanjang, tetapi setiap langkahnya membawa jejak 100 jurus silat dasar dari Silek Harimau, Cimande, hingga Gerak Rasa Madura.

Di tiap ruang yang ia lewati, Bara menghafal struktur. Belok kanan—simulasi mimpi eksperimen. Belok kiri—generator suara. Dua tingkat di bawah—pusat server data Panthom.

Tapi ia tidak mau melarikan diri. Belum.

Ia menuju ruang kendali kamera. Tiga penjaga. Satu di posisi duduk, dua berdiri di samping pintu. Semua membawa senjata elektrostatik. Di dinding belakang, satu tombol merah—manual override shutdown.

Ruangannya sempit. Tapi sempit adalah keuntungan jika kau bukan petinju, melainkan penari gelap.

Bara melompat dari sela ventilasi. Turun dengan satu kaki lebih dulu, mendorong tubuh penjaga pertama ke dinding hingga pingsan.

Penjaga kedua berbalik. Terlambat. Bara mengunci lengan kanannya dengan teknik Chi Sao kuno, memutar sendi hingga bunyi pop terdengar lembut. Tubuhnya merunduk, mengambil momentum, lalu mendorong kepala pria itu ke meja logam dengan siku pendek.

Pria ketiga sempat menarik senjata. Tapi tak sempat menembak. Bara melempar mouse besi dengan sudut rotasi ke arah dahi. Tepat. Pria itu tumbang. Tak mati. Tapi tak cukup sadar untuk bergerak lagi.

Ia mengatur ulang kamera pengintai. Dalam lima menit ke depan, semua sistem akan berputar kembali ke arsip semalam.

Bara bukan kabur. Ia meninggalkan diri palsunya di sistem—dan menyusup ke sistem yang lebih tinggi.

Langkah terakhir: menyentuh tombol merah.

DORRRR!

Alarm berbunyi. Tapi itu alarm palsu. Bara tahu setelah 45 detik, seluruh pusat komando akan dikosongkan sebagai SOP tingkat gamma.

Dan saat mereka sibuk mengejar bayangan, Bara sudah menyusup ke pusat data Panthom.

Bukan untuk mencuri. Bukan untuk membocorkan. Tapi untuk mencari satu nama. RW. Range Wisderman.

Ia menatap monitor. File merah terkunci. Satu kata sandi diminta.

Tangannya mengetik enam huruf: “RAHMAA”

Tombol enter ditekan. Layar bergetar.

Dan monitor menulis ulang dirinya sendiri, huruf demi huruf.

“Kamu mencariku, Bara. Tapi kamu lupa. Kamu tidak ditargetkan… Kamu dipanggil.”

****

Washington, D.C. Bulan September 2035.

Ruang tak bernama di bawah lantai dua puluh gedung Langley. Cahaya temaram. Dinding abu. Aroma kopi kuat dan debu prosesor usang. Di meja melengkung terpasang sembilan belas layar yang tak pernah mati, menyala seperti retina artifisial yang mengintip delapan zona waktu sekaligus.

Di sisi kiri ruangan itu, duduk satu perempuan—usia akhir dua puluhan, dengan kemeja putih lengan digulung dan celana cargo warna abu, serta jaket tipis yang selalu ditanggalkan saat serius.

Gaya rambutnya bixie cut, potongan pendek dengan tekstur mencuat ke belakang—mudah dikenali di antara barisan rambut klimis para agen intelijen baru. Namun yang paling menonjol darinya bukan potongan rambut, bukan kacamatanya yang agak miring karena sekrup longgar, tapi… tatapan yang seperti sudah mengetahui akhir diskusi bahkan sebelum dimulai.

Namanya: Puspita Putri Negara. Asal: Indonesia. Status: Trial Analyst Agent — South-Pacific Division.

Ia tidak sedang menjalani ujian. Ia sedang diam-diam dinilai.

Di hadapannya, layar berisi rekaman penyadapan digital.

“…subjek dikenal sebagai Barata Wisesa. Pernah mempresentasikan sistem artificial-mindbound container ke komunitas akademik. Teknologinya… berpotensi disalahgunakan.” —“Apa ini bagian dari Proyek Buana?” —“Nama itu muncul. Tapi tidak dalam direktori CIA. Melainkan—dalam folder berlabel asing: Wisesa 2.1”

Puspita mencatat dengan jari telunjuk langsung ke layar—tanpa menyentuh, hanya mengisyarat. Sistem langsung menangkap gestur dan menyematkan tag: “Anomali Sudut-Etika”

Seorang agen senior memerhatikannya dari kejauhan. Ia berbisik ke koleganya, “Gadis dari Jakarta ini… cepat. Terlalu cepat.” “Dari mana dia belajar sistem intersepsi lapis tiga semudah itu?” “Katanya… otodidak. Belajar dari template milik ayahnya yang pernah jadi insinyur komunikasi angkatan laut.”

Mereka tak tahu, Puspita tak belajar dari siapa pun. Ia hanya… terlatih mendengar suara yang tak diucapkan.

Saat presentasi singkat tiba, Puspita berdiri. Membenahi kacamatanya.

“Subjek Barata Wisesa bukan hanya ancaman atau target. Ia adalah arca sadar, Om. Bukan pencipta sistem. Tapi sistem itu sendiri, berjalan dalam tubuh manusia. Jika Panthom Brue ingin dia… maka kita terlambat menganggapnya sekadar ilmuwan.”

Seseorang tertawa kecil. “Kamu cukup berani menyebut PBA di ruangan ini, Puspita.” “Aku lebih takut kalau tak seorang pun berani menyebutnya sama sekali.”

Hening.

“Dan satu hal lagi,” tambahnya. “File ‘Wisesa 2.1’ tak hanya dibuka oleh Bara. Tapi… juga oleh seseorang dari Eastern Subnet milik kami. Kode IP-nya… berasal dari Yogya.”

Seseorang terhenyak.

Puspita menatap lurus. “Ini bukan hanya soal Barata. Ini tentang lintasan suara yang tidak pernah selesai diterjemahkan oleh sejarah. Dan saya percaya… kita harus segera menyelidiki. Sebelum suara itu berhenti—atau dipaksa berhenti.”

Tepuk tangan tidak terjadi. Tapi rapat ditutup. Dan malam itu, seorang mentor mendatanginya di lorong.

“Ada yang bilang kamu bukan sekadar analis. Kamu punya… intuisi medan.” Puspita hanya tersenyum kecil. “Saya hanya terbiasa berpikir pakai telinga.”

“Kenapa kamu tertarik dengan Barata Wisesa?” “Karena dia… menyelamatkan seseorang di masa depan, yang saya janji akan lindungi dengan cara saya sendiri.”

Mentornya diam.

*****

Atas nama penyelamatan, Bara menerobos lapisan ketiga ruang taktis Istana Negara. Ledakan listrik meledak dari panel utama, layar terbakar seperti kulit zaman yang akhirnya koyak. Waktu runtuh dari langit-langit ruangan. Cahaya berkedip dalam irama tak dikenal.

Dan ketika Kenanga jatuh, tubuhnya terayun ke kiri… Bara menangkapnya.

Dan di detik itulah waktu memutus tali. Tubuh Bara bukan terpental keluar, bukan terangkat… Tapi terisap diam-diam.

Tanpa suara. Tanpa api. Tanpa logika.

Hanya… perpindahan. Seperti sistem berpindah file ke direktori yang belum dibuat semesta.

Ketika ia membuka mata, Bara berdiri. Tapi bukan di dunia.

Langitnya gelap ungu. Tanahnya bercahaya logam merah. Di hadapannya… bukan layar holografik—tapi lorong tak kasat mata yang membentuk arena selebar galaksi kecil.

Dan di sana, dua sosok sedang bertempur. Tapi bukan hanya bertempur… Mereka bertarung dalam jeda yang berulang, seperti rekaman semesta yang rusak tapi tak hancur.

Sosok pertama: Berpakaian putih, rambut ikal, ikat kepala dan selendang merah menyala. Gerakannya sehalus angin, tapi tiap pukulan seperti bisa membelah gunung. Ia melayang dan jatuh tanpa suara, tapi dentumannya menggetarkan lantai kosong di bawah kaki Bara.

Sosok kedua: Berpakaian merah bata, rambut tersisir rapi, ikat kepala keemasan di dahi. Tangannya membentuk mudra kematian. Sepasang mata menyala seperti bara mendidih. Tapi yang paling membuat Bara tak berkedip adalah…

…tatapannya. Tatapan itu…

mirip dirinya sendiri.

Suara terdengar. Berulang. Seperti gema dari jantung mesin yang rusak.

“Aku… > Aku Rangga Wisesa… > Aku… > Aku Rangga Wisesa…”

Bara melangkah. Tapi kakinya tak menyentuh lantai. Ia bukan berjalan—melainkan diseret ke dalam tempo ingatan yang bukan miliknya.

“Aku… > Aku Rangga Wisesa…”

Kedua sosok itu terus bertarung. Gerakan mereka semakin cepat. Pukulan, tendangan, tumbukan tenaga dalam. Semuanya bergerak dalam gelombang yang tak terdeteksi mata biasa.

Hingga… …satu detik saja, suara itu berubah.

“Aku… > …adalah kamu.”

Dada Bara bergetar. Dadanya menyala. Bukan api. Bukan listrik. Tapi memori. Memori yang tak pernah ia alami.

“Aku… > Aku adalah jejakmu.” > “Dan kamu… adalah pilihan terakhirku.”

Seketika, Bara tersedot ke belakang. Arena lenyap. Udara luruh. Dan tubuhnya terhempas kembali ke dunia nyata—ke ruangan terbakar tempat Kenanga tersadar perlahan.

Tapi Bara… berdiri dengan mata yang tak lagi sama.

Seketika, layar utama di ruangan komando yang rusak—menyala. Tanpa sambungan. Tanpa izin.

Dan hanya menampilkan satu baris kalimat:

“Fase 1 selesai. > Garis Darah… aktif kembali.”

Bara menatapnya. Pelan-pelan, ia mengangguk. Tapi bukan dalam pengertian. Melainkan… penerimaan bahwa sebagian dari dirinya bukan berasal dari masa depan. Tapi dari luka yang belum selesai di masa lampau.

Layar redup. Asap melayang. Dan di sela-sela kepulan listrik, terdengar satu suara… tak dikenal, namun terasa sangat dekat.

******

Lorong itu hening setelah tersedotnya waktu. Ruang kembali seperti sedia kala: layar rusak, percikan listrik padam, dan Kenanga yang kini duduk bersandar di tembok, nafasnya belum teratur. Puspita berlari masuk, mata terbelalak, bibirnya separuh membeku.

“Mana orang itu?” bisiknya.

Tak ada jawaban. Hanya layar yang menyala sebentar, menampilkan simbol samar dalam bentuk spiral yang menyatu ke huruf W.

Di tempat lain—yang tak disebut dalam peta atau database pemerintah manapun—sebuah monitor menyala otomatis.

Suara digital tanpa asal membaca rekam jejak sensorik yang terekam detik terakhir sebelum loncatan waktu.

“Subjek Wisesa… berhasil melewati batas realitas. > Fase Protokol: TERPICU. > Efek Resonan: R.W. detection spike: aktif.”

Topeng putih dari titanium perlahan dibuka oleh tangan yang tak pernah tampil dalam arsip manapun. Tapi tetap, wajah di baliknya tak pernah terungkap. Hanya suara dalam gumaman yang pelan:

“Akhirnya… satu dari mereka kembali melihat.”

Layar menyala lebih terang, memperlihatkan dua siluet yang kini terekam oleh sistem lama yang sebelumnya terkunci.

Dua pendekar. Satu berbaju putih, rambut ikal, berselendang merah. Satu berpakaian merah bata, kepala terikat emas. Gerakan mereka seperti bayangan yang diputar ulang ribuan kali—tak pernah selesai.

Dan dari dalam sistem B.O.P, suara ini berulang dalam irama yang menyalak sunyi:

“Aku… > Aku Rangga Wisesa…”

Lalu layar padam. Tapi bara belum mati.

BERSAMBUNG DALAM GARIS DARAH — BAB 2Ruang Tanpa Waktu

—Siapakah RW? —Apakah Rangga adalah awal atau akhir? —Dan mengapa kesadaran Bara mulai berbicara dalam bahasa yang bahkan ia tak pahami?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *