Scroll untuk baca artikel
KISAH

SI TUBIR: GIGITAN MISTERI

Avatar photo
×

SI TUBIR: GIGITAN MISTERI

Sebarkan artikel ini

Si Tubir Penyingkap Tabir
Episode 1 – Gigitan Misteri

Tubir berdiri di ruang tamu rumah mewah itu dengan jas hujan compang-camping, meneteskan air ke karpet Persia yang harganya mungkin lebih mahal dari seluruh isi dompetnya. Rambutnya acak-acakan seperti sarang burung, dan di mulutnya tergigit setengah pisang goreng yang entah dari mana datangnya.

“Dempul, liat nih! Berantakan, tapi nggak ada yang ilang. Kecuali… nyawa si empunya rumah,” katanya sambil menunjuk sekeliling ruangan yang dipenuhi barang antik. Remah pisang goreng berjatuhan ke lantai marmer.

Dempul, mitra setianya, sedang asyik mengunyah kue lapis. Gemuk, pendek, dengan tas kain lusuh berisi camilan, ia terlihat lebih mirip penonton ketimbang asisten detektif. Ia hanya mengangkat sebelah alis.

“Ya, udah jelas itu pembunuhan, Bir. Jangan lebay. Polisi aja udah pulang.”

Tubir jongkok di depan sebuah vas bunga antik yang retak di bagian lehernya. Ia menatap retakan itu lama, lalu bersiul kecil. “Nah, ini dia! Liat retakannya! Nggak mungkin karena jatuh. Kayak… digigit tikus gede, kan?”

Dempul mendesah, menyeka remah kue dari pipinya. “Bir, lo lagi-lagi ngarang dongeng. Polisi bilang ini perampokan gagal. Udah, beres. Jangan bikin kerjaan kita tambah ribet.”

Tubir berdiri, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. “Ribet? Ini seru, Pul! Ini anomali investigasi! Tikus gede itu kunci kasusnya!” Ia menunjuk patung Buddha kecil di pojok rak. “Liat! Gigitannya lebih dalam. Ini jejaknya!”

Dempul menggeleng-geleng kepala. “Lo mau ngikutin jejak gigitan tikus, Bir? Serius?”

“Pasti!” jawab Tubir mantap. “Tikus gede nggak mungkin sembarangan gigit. Dia pasti punya motif. Kita ikuti jejak gigitannya, Pul!”

Dempul menghela napas panjang. “Ya udah, Bir. Gue ikutin lo. Tapi kalo kita ketemu tikus beneran, lo yang tanggung jawab.” Ia memasukkan sisa kue lapis ke dalam tasnya. “Jangan lupa beli kopi susu. Gue udah mulai ngantuk.”

Tubir tersenyum lebar. “Sip, Pul! Petualangan dimulai!”

***

Tubir melirik Dempul. “Pul, lo cium nggak? Bau amis campur pakan hamster. Nih toko, sarang tikus gede itu.”

Dempul menutup hidung. “Bau kayak kos-kosan lo, Bir.”

Pemilik toko gelagapan. “Hamster raksasa? Mana ada, Pak. Saya cuma jual hamster imut-imut buat anak-anak.”

Tubir mengeluarkan foto vas antik yang retak. “Pak, jangan main-main. Gigitan ini… sama kayak gigi hamster Bapak.”

Pemilik toko pucat. Kursi reyotnya berderit ketika ia duduk lemas. “Saya cuma nurut… saya diancam kolektor saingannya. Hamster itu… memang dilatih buat nyolong barang antik.”

Tiba-tiba suara sirine. Sebuah mobil polisi berhenti di depan toko. Dari dalam keluar Pak Binsar—polisi senior dengan seragam agak kusut dan wajah ramah khas “bapak komplek”.

“Lagi-lagi metode anomali kalian berhasil, ya?” katanya sambil menepuk pundak Tubir.

“Pak Binsar!” Dempul menyengir. “Bapak tahu dari awal?”

Binsar terkekeh. “Saya percaya intuisi kalian. Aneh tapi selalu nancep.”

Tubir menggaruk kepala. “Yang penting kasusnya kelar, Pak. Soal tenar… itu buat artis TikTok.”

“Dan soal kue lapis, buat gue.” sambung Dempul sambil mencomot dari tasnya.

Pak Binsar geleng-geleng. “Kalian berdua… kalau bikin novel, pasti bestseller. Tapi tetep aja, saya seneng kalian lebih milih kerja di balik layar.”

Tubir nyengir. “Pak, detektif kayak gue nggak butuh spotlight. Yang penting… justice served.”

Dempul mengangguk. “Dan perut kenyang.”

Mereka bertiga tertawa. Di belakang, hamster raksasa menggeretak kandangnya—seolah ingin ikut nimbrung.

***

Di kantor polisi yang cat dindingnya mulai mengelupas, Pak Binsar duduk termenung. Berkas laporan yang ia susun bersama Tubir dan Dempul—hasil investigasi berhari-hari—baru saja ditolak mentah-mentah.

Jaksa Susanto, dengan jas mahal dan senyum yang terlalu rapi, sudah menutup kasus itu lewat konferensi pers siang tadi.

“Serangan jantung,” katanya di depan kamera. “Korban kaget melihat salah satu patungnya bergerak. Kasus selesai.”

Tubir hampir melempar gelas kopinya ke TV warung. “Patung hidup? Gila! Ini lebih ngaco dari teori tikus raksasa gue!”

Dempul ikut geram. “Itu jaksa pasti dibayar cukong! Nggak mungkin dia ngomong setolol itu kalau nggak ada maunya!”

Mereka segera meluncur ke kantor Pak Binsar. Polisi senior itu duduk lesu, menatap kosong meja kayunya.

“Pak,” Tubir menepuk meja, “ini jelas-jelas disembunyikan. Kita nggak bisa diem!”

Binsar menghela napas. “Saya tahu, Tubir. Tapi Susanto itu bukan jaksa biasa. Dia punya koneksi… bahkan kabarnya backing politik. Saya nggak punya bukti untuk melawannya.”

Dempul meninju udara. “Kalau gitu, biar kita yang cari buktinya!”

Binsar menatap mereka, kali ini dengan sorot campuran harap dan cemas. “Hati-hati. Susanto itu berbahaya. Main sama dia, nyawa bisa jadi taruhannya.”

Tubir menyeringai, matanya berkilat. “Gigitan tikus raksasa keadilan bakal nyampe ke dia, Pak. Nggak ada yang kebal kalau busuknya udah kebongkar.”

Dempul menimpali sambil mengunyah kue lapis: “Dan kue lapis keadilan bakal pahit banget di mulutnya.”

Binsar hanya tersenyum tipis. Ia tahu, di tengah sistem yang sudah dilumuri korupsi, Tubir dan Dempul adalah kartu liar—metode mereka aneh, tapi selalu mematikan.

Saat mereka hendak pergi, seorang kurir datang membawa amplop tanpa nama untuk Tubir. Isinya hanya secarik kertas dengan tulisan tangan:

“Kalau mau tahu siapa yang melindungi Susanto, temui aku di Gang Cempaka jam 2 dinihari. Datang sendiri. —X.”

Tubir melipat kertas itu, matanya menyala. “Pul… kayaknya tabirnya baru aja kebuka.”

Dempul menelan sisa kue lapisnya. “Astagfirullah… jam dua pagi, Bir? Gue udah siap mati, tapi minimal bawa kopi dulu.”

***

Tubir nongol di depan meja Saroh kayak maling ayam – rambutnya awut-awutan kayak sarang burung, kemeja satu kancing lepas, dan bau rokok murah nempel.

“Saroh, Sayang…” Tubir nyengir, duduk tanpa diundang.

Saroh, yang rapi dengan blazer abu-abu dan kacamata tipis, bahkan nggak nengok. Jarinya masih menari di atas keyboard.
“Ada apa lagi, Bir? Jangan bilang mau minjem duit.”

“Bukan. Ini serius,” Tubir majuin badan. “Kasus kolektor barang antik itu. Jaksa Susanto bohong!”

Baru kali ini Saroh berhenti ngetik. Dia menatap Tubir, alis terangkat.
“Bohong gimana? Jaksa bilang korban serangan jantung.”

Tubir ngibasin tangan. “Serangan jantung gara-gara liat patung gerak sendiri? Come on, Sar. Itu kayak cerita sinetron mistis jam 2 pagi.”

Saroh nyender di kursinya, menatap Tubir lebih lama dari biasanya. “Jadi lo yakin ini pembunuhan?”

“Yakin banget. Dan gue curiga, Susanto itu… nggak bersih.”

Saroh mendengus kecil. “Lo selalu curiga sama semua orang, Bir.”

“Ya, tapi kali ini gue punya feeling. Dan lo tau kan, Susanto itu pernah nutup akses berita KSNews tahun lalu? Lo juga korban, Sar.”

Saroh terdiam sebentar. Itu benar—setahun lalu, Susanto pernah “membekukan” berita tentang dugaan korupsi di kejaksaan.

Tubir mendesak, “Makanya gue butuh lo. KSNews punya akses luas. Kita bongkar bareng. Lo di data & jaringan media, gue di lapangan.”

Saroh memutar pulpen di jarinya, lalu menghela napas. “Oke. Gue bantu. Tapi janji: nggak ada ulah aneh-aneh. Dan jangan sampai Mat Dekok tau kita kerjasama.”

“Janji! Demi kamu, Saroh.” Tubir senyum lebar, senyum yang bikin Saroh geregetan tapi nggak tega.

Saroh geleng-geleng sambil menahan senyum. “Tubir, Tubir… kalau gue mati gara-gara ulah lo, gue bakal gentayangan.”

Tubir bangkit, dengan energi baru. “Kalau kita berhasil, Susanto nggak bakal tidur nyenyak. Tabirnya mulai kebuka, Sar.”

Saroh menatapnya lama. Di balik kekacauan Tubir, ada tekad yang sulit ditolak. Dan entah kenapa, kali ini Saroh percaya—perburuan baru mereka sudah dimulai.

***

Hujan deras mengguyur pelabuhan, memukul atap seng gudang tua, mencampur suara derasnya dengan desisan langkah kaki para penyerang. Genangan air memantulkan kilat, menyorot wajah mereka yang tersembunyi di balik topeng kain hitam tanpa identitas.

“Brengsek!” Tubir memaki, menghindar dari tebasan pedang yang nyaris membelah kepalanya. Ia membalas dengan tendangan lurus ke ulu hati penyerang, membuat tubuh lawannya terhempas menghantam tumpukan peti.

Dempul — gemetar tapi sigap — melempar bungkusan kue lapis ke wajah penyerang lain. Sekejap lawan itu terhuyung, celah terbuka, dan Pak Binsar meluncur masuk dengan tongkat besinya, desingan memotong udara.

“Jangan sentuh mereka!” Tubir berteriak, matanya menangkap Saroh dan Kimin terikat di sudut gudang. Wajah keduanya pucat, rambut Saroh menempel di pipinya karena hujan.

Penyerang terbesar—setinggi lemari dengan bahu selebar pintu—menyerbu brutal. Tubir meluncur rendah, silat Betawi yang ia pelajari dari almarhum gurunya di Tanah Abang. Sikutnya menghantam rusuk, lututnya menembus paha lawan. Tubuh besar itu akhirnya terhuyung.

“Siapa kalian?!” Pak Binsar menuntut sambil mengayunkan tongkat. Tapi para penyerang tetap diam, gerakan mereka seperti mesin terlatih, bukan preman pelabuhan.

Tubir, napas memburu, menghantam titik-titik vital lawan satu per satu. Satu demi satu bayangan jatuh ke lantai basah. Tersisa satu.

Dan justru penyerang terakhir itu tidak menyerang. Ia berdiri di ujung gudang, mengangkat tangan, menyelipkan sesuatu di balik ikat pinggangnya, lalu melempar sebuah kartu nama yang basah ke arah Tubir.

Di kartu itu, tinta merah samar terbaca:
“Ini baru permulaan. – S.”

Tubir mematung. “Susanto…” gumamnya.

Hujan semakin menggila. Saroh menatapnya dengan mata membelalak. Ini bukan sekadar serangan. Ini pesan perang.

***

Tubir berhasil melepaskan ikatan Saroh dan Kimin.

Saroh tersentak, tubuhnya gemetar, matanya sayu. Kimin buru-buru menopang pundaknya, membantu Saroh duduk di lantai gudang yang dingin dan licin. Kilatan petir dari luar jendela memantulkan wajah Saroh yang pucat dan pelipisnya yang berdarah.

“Lo nggak papa, Sar?” suara Tubir parau, napasnya berat.

Saroh menggeleng, meski kepalanya masih berputar. “Gue nggak papa, Bir… tapi… siapa mereka?”

Tubir hendak menjawab, tapi belum sempat ia membuka mulut, suara desis langkah menghantam telinganya. Salah satu penyerang, yang tadi ia kira tumbang, mendadak bangkit. Brak! Sebuah benda tumpul menghantam belakang kepalanya. Pandangannya gelap sejenak. Tubir jatuh tersungkur, darah hangat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan air hujan di lantai.

“BIR!” Dempul berteriak. Ia dan Pak Binsar spontan mengalihkan serangan ke penyerang itu. Tongkat besi Binsar beradu keras dengan parang. Dempul, meski gemetar, menerjang dengan tubuh besarnya, menabrak salah satu penyerang hingga terhempas ke tumpukan peti.

Saroh, dengan tenaga tersisa, meraih tasnya dan melemparkan peralatan kerja ke Dempul. “Pul! Pakai ini!” teriaknya.

Sementara Kimin menggenggam tongkat kayu seadanya, berdiri di depan Saroh, berusaha menjadi perisai. “Kalau mau mereka, lewatin gue dulu!” suaranya pecah, tapi matanya membara.

Saroh berhasil menghubungi kantor polisi. “Ini darurat! Gudang Pelabuhan Barat! Mereka bersenjata—buruan!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan.

Tubir, kepalanya berdenyut hebat, mencoba bangkit. Tangannya meraba lantai dingin, mencari apa saja yang bisa dipakai. Jarinya menyentuh pipa besi, berat dan dingin. Dengan sisa tenaga, ia menyeret tubuhnya berdiri, lalu kembali maju ke ring pertarungan.

Petir menyambar. Siluet tubuh mereka beradu di kilatan cahaya: Tubir dengan pipa besi, Dempul dengan keringat bercucuran, Pak Binsar memutar tongkatnya, Saroh dan Kimin di sudut menahan napas.

Namun di antara semua kekacauan itu, pintu gudang tiba-tiba berderit.

Seseorang berdiri di ambang pintu, payung hitam di tangannya, tubuhnya tak tersentuh hujan. Senyum tipisnya menebar hawa dingin.

“Sudah cukup main-mainnya,” katanya. Suaranya berat.

***

Tubir, meski kepalanya berdenyut hebat, mengayunkan pipa besi dengan sekuat tenaga. Darah menetes di keningnya, tapi matanya menyala. Satu penyerang terhuyung, wajahnya sobek dihantam pipa.

Dempul, yang biasanya tampak lamban, bergerak lincah menghindar, lalu melempar sebungkus kerupuk ke mata penyerang lain. “Makan tuh karbo!” serunya, menciptakan celah bagi Pak Binsar untuk mengayunkan tongkatnya, menghantam rusuk lawan hingga roboh.

Saroh, walau tubuhnya lemah, berdiri di sudut dan memberi arahan, lebih seperti komandan daripada korban. “Bir, serang dari belakang! Pul, jaga pintu keluar!” teriaknya. Kimin menahan napas, tubuhnya gemetar, tapi tongkat kayu di tangannya menangkis serangan-serangan liar demi melindungi Saroh.

Gudang tua itu bergema oleh suara benturan logam, teriakan, dan langkah kaki. Lantai licin oleh hujan dan darah. Tapi Tubir, Dempul, dan Binsar menolak menyerah. Mereka bertarung untuk lebih dari sekadar hidup—untuk kebenaran yang belum sempat mereka ungkap.

Tiba-tiba, sirine polisi meraung di kejauhan. Para penyerang saling pandang—panik. Satu per satu mereka mundur, menghilang ke kegelapan malam, meninggalkan jejak darah dan misteri yang belum terjawab.

Polisi datang, mengamankan lokasi dan menolong mereka. Petugas medis memeriksa luka-luka Tubir, Saroh, dan Kimin. Memar, lecet, dan kepala berdenyut… tapi luka terbesarnya adalah di dalam: kejutan, kemarahan, dan tekad.

Hujan mulai reda. Tubir memeluk Saroh erat-erat. “Lo selamat, Sar… itu cukup buat gue,” bisiknya. Saroh membalas pelukan itu, tahu bahwa ini baru awal dari badai yang lebih besar.

***

Ruangan kantor polisi itu seperti menahan napas. Bau kertas lembap, kopi basi, dan asap rokok bercampur jadi satu. Di meja berantakan: foto-foto korban, catatan investigasi, dan bungkusan kerupuk Dempul yang belum sempat dibuang.

“Waktu kematian Maya dan kolektor itu… hampir bersamaan,” kata Tubir. Suaranya serak. “Terlalu kebetulan untuk dibilang kebetulan.”

Saroh mengetik cepat di laptop, jemarinya gemetar tapi pasti. “Gue udah cek. Maya ternyata kerja paruh waktu di perusahaan konsultan milik… Mr. X.” Ia memutar layar laptop ke arah mereka: daftar transaksi keuangan dengan angka-angka yang tak masuk akal. “Bersih di permukaan, tapi uangnya ngalir ke tempat gelap.”

Dempul mengunyah kata-katanya sendiri sebelum bicara. “Gue dapet rekaman CCTV. Buram. Tapi itu mobil Mr. X, nongkrong di dekat TKP Maya.” Ia menggaruk perutnya, menambahkan, “Gue yakin, busuknya ini bukan cuma dari kerupuk basi.”

Pak Binsar membuka map cokelat lusuh. “Dan ini,” katanya pelan, mengeluarkan berkas. “Hubungan bisnis ilegal antara Mr. X dan si kolektor. Perdagangan barang antik gelap.”

Tubir menatap satu per satu wajah mereka. Puzzle itu lengkap di kepalanya. “Mr. X membunuh Maya karena dia tahu sesuatu. Kolektor cuma pengalih perhatian. Mirnawati? Cuma pion yang dimanfaatkan.”

Saroh menghela napas panjang. “Jadi… orang-orang yang nyerang kita di gudang itu juga suruhan dia?”

Tubir mengangguk, mata menyipit. “Dia nggak main-main. Mr. X ini kayak hantu: nggak kelihatan, tapi ada di mana-mana. Dan dia nggak ragu bunuh siapa pun yang ganggu bisnisnya.”

Keheningan menelan ruangan sampai Kimin, yang dari tadi diam, berbisik, “Pak Tubir… kita dalam bahaya.”

Tubir menatap Kimin, lalu ke Saroh, Dempul, Binsar. “Iya. Tapi kalau kita diem aja, bahaya itu bakal lebih gede. Kita bongkar semua ini. Sampai akar.”

Dempul mengacungkan jempol, mencoba mencairkan suasana. “Kita udah pernah ngelawan tikus raksasa, masa kalah sama Mr. X?”

Pak Binsar mengangguk berat. “Kita butuh bukti, perlindungan, dan rencana. Ini nggak bisa asal terjang.”

Saroh meraih ponselnya. “Gue bakal hubungi orang dalam. Kita perlu sekutu kalau mau hadapin monster kayak Mr. X.”

Tubir berdiri. Tatapannya keras. “Kita mulai dari sarangnya. Perusahaan Mr. X. Kita cari celah, kita temuin bukti. Ini bukan cuma soal keadilan buat Maya atau kolektor. Ini soal kita bertahan hidup.”

Di luar, hujan mulai turun lagi. Seperti kota ikut mengerti: perburuan baru dimulai.

***

Ruangan itu pengap, bau debu bercampur amis besi, dan sesuatu yang membusuk membuat perut Maya mual. Lampu gantung berkedip lemah, membuat bayangan di dinding menari liar, seperti mengejek ketakutannya.

Ia terikat di kursi reyot; tali kasar menggores pergelangan tangannya hingga perih. Napasnya memburu, tenggorokannya kering, namun ia tak berani berteriak—suara di luar tak akan ada yang mendengar.

Langkah kaki berat terdengar. Kolektor itu mendekat. Tubuhnya besar, tapi gerakannya licin, seperti ular. Senyumnya… menjijikkan. Maya memalingkan wajah, tapi tangannya yang keras mencekal dagunya, memaksa matanya menatap.

“Kau tahu terlalu banyak, Maya,” bisiknya, suara serak seperti batu digerus. “Hal-hal yang seharusnya tidak pernah kau sentuh.”

“Aku… aku tidak tahu apa-apa,” suaranya pecah. “Sungguh. Saya cuma kerja paruh waktu…”

“Jangan berbohong.” Tangannya menampar meja, membuat bayangan benda-benda di sekitarnya bergetar. “Aku tahu kau mendengar. Aku tahu kau lihat berkas itu.”

Maya menelan ludah. Dalam kepanikannya, matanya menangkap sesuatu di lehernya—kalung perak dengan liontin kecil berbentuk naga. Bukan perhiasan biasa. Ia pernah melihat simbol itu di berkas perusahaan tempatnya bekerja.

“Terlambat,” gumamnya, menyeringai. “Kau tidak akan keluar hidup-hidup.”

Ia mengeluarkan pisau kecil. Bilahnya memantulkan kilau lampu kuning kusam, dingin seperti niatnya. Maya memejam, tubuhnya gemetar hebat.

“Kumohon… jangan…” bisiknya, lebih seperti doa daripada permohonan. “Aku belum siap mati…”

Pisau itu menyentuh kulitnya—dingin, menusuk, membuat nyalinya runtuh. Maya menjerit dalam hati, memanggil nama ibunya.

Lalu—gelap.

***

Hujan turun deras, menampar tubuh Mirnawati seperti ribuan jarum dingin. Ia meringkuk di bawah terpal lusuh di pojokan trotoar dekat stasiun, gigi-giginya bergemeletuk, napasnya memburu. Tubuhnya nyaris tak terasa miliknya sendiri—enam hari berpuasa, hanya minum air hujan dan sesekali sesuap nasi dari belas kasihan orang yang lewat.

Di tangannya, foto Maya sudah hampir hancur, kertasnya basah, warnanya luntur. Tapi Mirna menggenggamnya erat, seolah takut anaknya benar-benar hilang jika foto itu lepas.

“Maya… anakku…” suaranya serak, pecah di tengah suara hujan yang menelan segalanya. “Mereka bilang kamu bunuh diri. Bohong. Ibu tahu… itu bohong.”

Air mata mengalir, bercampur hujan. Ia mengusapnya dengan tangan yang dingin dan gemetar. “Kamu gadis kuat, Maya. Kamu nggak akan pernah ninggalin Ibu sendiri di dunia kayak gini.”

Perutnya melilit. Tubuhnya berteriak minta makan, tapi hatinya berteriak lebih kencang—memanggil keadilan. Enam hari sudah ia menunggu keadilan, dan enam hari itu pula ia merasa diabaikan.

“Mereka… nutup kasusmu… kayak nggak ada artinya hidupmu,” gumamnya, suaranya naik-turun, seperti bicara pada roh Maya. “Apa kamu nggak berarti buat mereka, Nak? Apa kamu cuma… angka di laporan mereka?”

Sebuah mobil polisi melintas. Mirna mencoba berdiri. Kakinya goyah, tubuhnya ambruk, terbatuk hebat. Beberapa orang menoleh sekilas, lalu berlalu. Ia seperti tidak ada.

“Tolong… cari keadilan buat Maya…” napasnya berat, patah-patah. “Mereka… mereka bunuh kamu… Ibu janji, Maya… Ibu nggak bakal diem.”

Ia kembali meringkuk. Foto Maya dipeluk erat ke dada, seperti pelindung terakhir dari dunia yang kejam. Di tengah hujan malam itu, Mirnawati memahat tekadnya: jika dunia menutup mata, ia sendiri yang akan membuka semua kebusukan.

***

Bau antiseptik menusuk hidung Mirnawati, bercampur dengan suara bip pelan dari alat medis di sampingnya. Lampu putih di langit-langit membuat pandangannya silau. Ia butuh beberapa detik untuk sadar: ia tak lagi di trotoar. Tubuhnya terasa berat, dingin masih menempel di tulangnya, tapi setidaknya ia tak lagi kedinginan di bawah hujan.

Seorang wanita berblazer krem duduk di kursi lipat, menggenggam tangannya erat. “Ibu sudah sadar?” suara itu lembut, menenangkan. Saroh. Bukan orang asing, tapi wajah yang dikenalnya dari berita—reporter yang pernah ia lihat mengungkap kasus-kasus besar di TV.

“Di… mana saya?” suara Mirna pecah, serak.

“Ibu di rumah sakit,” jawab Saroh cepat, lembut. “Ibu pingsan di depan Istana Negara. Ada warga yang menolong Ibu. Sekarang… Ibu aman.”

Aman. Kata itu terdengar asing di telinga Mirna. Bayangan hujan, dingin, dan teriakan “Maya” masih menghantui kepalanya. Air mata kembali jatuh tanpa ia sadari.

Saroh menunduk sedikit, menggenggam tangan Mirna lebih erat. “Ibu… istirahatlah dulu. Ada yang ingin bertemu Ibu.”

Pintu kamar terbuka. Seorang pria berjas hujan compang-camping masuk, membawa setangkai mawar putih yang sudah sedikit layu. Tubir. Bukan pejabat, bukan pengacara, tapi sosok yang tatapannya seperti berkata: Aku ngerti rasa kehilanganmu.

Tubir mendekat, meletakkan bunga itu di meja kecil samping ranjang. “Bu Mirnawati…” suaranya dalam, tenang. “Saya sudah mendengar semuanya. Saya… datang untuk menemani Ibu. Dan saya janji… saya akan bantu Ibu cari keadilan untuk Maya.”

Mirna menatapnya, air mata mengalir deras. Ia meraih tangan Tubir, mencengkeramnya seperti pelampung terakhir di lautan yang menenggelamkannya. “Terima kasih… Pak… terima kasih…”

Di dalam kepalanya, Tubir sudah merangkai benang merah: Maya, kolektor, Susanto, Mr. X—semuanya terhubung. Ini bukan sekadar janji pada seorang ibu patah hati. Ini pernyataan perang.

Saroh menatap Tubir. Keduanya tahu: dengan janji itu, mereka sudah masuk ke pusaran yang bisa menenggelamkan siapa saja. Tapi mereka tak mundur.

Di bangsal rumah sakit yang sunyi itu, janji terpatri: kebenaran akan terungkap, sekalipun harus melawan orang-orang berkuasa.

***

Tubir menatap bukti-bukti yang tercecer di meja: rekaman suara samar—suara laki-laki yang terdengar seperti mengancam—sebuah foto yang menampilkan Mr. X sedang duduk bersama kolektor barang antik di sebuah restoran mewah, dan satu lembar cetakan transfer dana ke rekening luar negeri. Nama pemilik rekening itu membuat Tubir membeku: Mirnawati.

Dadanya terasa berat. Semua petunjuk mengarah pada Mr. X… tapi mengapa nama Mirnawati muncul di aliran dana ini? Apakah ia benar-benar korban? Atau sejak awal ia hanyalah bidak yang dengan sadar dimainkan dalam permainan kotor ini?

“Ini… nggak masuk akal,” desah Tubir, mengusap wajahnya yang lelah. Di balik semua kesedihan Mirnawati, apakah ada rahasia besar yang ia sembunyikan?

Di luar jendela rumah sakit, Tubir melihatnya: sebuah mobil hitam berhenti. Dua pria berjas hitam turun. Tubuh mereka tegap, wajah mereka tanpa ekspresi. Mereka tak membawa papan nama, tapi tatapan mereka cukup untuk membuat Tubir tahu: mereka bukan tamu biasa.

Tubir merasakan darahnya berdesir. Waktu mereka habis.

“Pul, Saroh,” bisiknya cepat sambil meraih ponselnya. “Kita nggak aman di sini. Siapkan jalur keluar.”

Dempul, yang sedang mengunyah roti di pojok, langsung kaku. “Lo yakin itu mereka?”

Tubir menatapnya tajam. “Kalau bukan, kenapa mereka mengawasi ruang Mirnawati? Kita udah masuk ke wilayah Mr. X. Ini jebakan.”

Saroh menoleh dari meja kerja daruratnya. “Kalau gitu, kita harus cepat pindahin Mirna. Sekarang.”

Tubir menatap Mirnawati yang masih terbaring lemah. Kepalanya penuh tanda tanya: Apakah wanita ini benar-benar korban? Atau rahasia di balik rekening itu akan menghancurkan mereka semua?

Di kepalanya, benang merah kasus ini semakin jelas—dan semakin berbahaya. Mr. X tahu mereka sudah terlalu dekat dengan kebenaran.

Kasus ini ternyata hanyalah permukaan. Jejak baru mengarah pada Maya—seorang perempuan yang kematiannya ditutup dengan kata “bunuh diri”. Namun, benarkah Maya bunuh diri?
Siapa Mr. X yang namanya berulang kali muncul di balik bayang-bayang?
Dan… apakah Mirnawati, ibu Maya, benar-benar korban… atau justru bagian dari permainan besar ini?

Ikuti kisahnya di Episode 2: RAHASIA MAYA.

DISCLAIMER:
Kisah “Si Tubir Penyingkap Tabir” adalah karya fiksi. Nama, tokoh, tempat, dan peristiwa yang muncul dalam cerita ini merupakan hasil imajinasi penulis. Jika terdapat kesamaan dengan nama, kejadian, atau peristiwa nyata, hal tersebut sepenuhnya bersifat kebetulan dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan pihak manapun. Serial ini dibuat untuk hiburan dan eksplorasi kreatif semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KISAH

Gelombang angin yang berhembus kencang tak mengalahkan niat Rahman menyebrang ke Pulau Panggang untuk bertemu dambaan hati, sudah setengah tahun sejak terakhir pertemuan mereka dan selama itu hanya sepucuk surat yang menjadi obat rindu bagi mereka.

KISAH

GARIS DARAH 2: RUANG TANPA WAKTU (Zona Resonan – Level 7/Δ)* Bara Wisesa terbangun bukan karena cahaya. Tapi karena suara….