KSNews — Baru-baru ini publik digegerkan dengan pemberitaan bahwa Pulau Pari akan hilang menyusul izin reklamasi yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pemberitaan tersebut disertai aksi warga yang menuntut pencabutan izin reklamasi dan penekanan bahwa ancaman hilangnya pulau bukan sekadar isu permukaan.
Menanggapi berita tersebut, Mukti Ali, seorang tokoh masyarakat Pulau Seribu, menyatakan bahwa klaim ancaman hilangnya Pulau Pari terkesan dilebih-lebihkan dan dibuat-buat untuk memicu kepanikan publik. Menurutnya, Pulau Pari telah melewati berbagai perubahan lingkungan selama bertahun-tahun dan warga setempat mengenal karakter pulau dengan sangat mendalam.
“Menyebut Pulau Pari akan hilang itu terlalu dramatis,” ujarnya dengan tenang. “Warga Kepulauan Seribu hidup bersama laut, naik turunnya air pasang, perubahan alami — semuanya kami pahami. Tapi kita tidak serta-merta panik melihat izin, tanpa melihat data dan kajian lingkungan secara objektif.”
Mukti Ali menyebut bahwa pemberitaan harus berbasis fakta ilmiah, bukan hanya opini atau spekulasi. Ia mendesak agar sebelum melakukan tindakan ekstrem seperti pencabutan izin, pemerintah dan media perlu mengedepankan kajian ekosistem, guncangan alam, dan evaluasi risiko jangka panjang yang komprehensif.
“Kalau izin reklamasi itu bermasalah secara teknis, silakan dibuka kajiannya dan direses. Tapi kalau langsung dikatakan pulau akan hilang, itu bisa memecah ketenangan masyarakat,” lanjut Mukti. Ia mengajak warga agar tetap tenang namun kritis: menyuarakan keberatan bila ada pelanggaran, namun tidak terjebak isu yang berlebihan.
Dalam pandangannya, ancaman terbesar yang harus dihadapi Pulau Pari bukanlah “hilangnya pulau dalam semalam”, melainkan abrasi gradual, pencemaran laut, dan aktivitas pembangunan tanpa pengawasan. Menurut Mukti, kekhawatiran warga lebih tepat diarahkan pada langkah penguatan konservasi dan pengawasan ketat terhadap izin-izin yang keluar.
Mukti Ali juga menyoroti bahwa media sebaiknya menyeimbangkan narasi — memberi ruang kepada pejabat teknis, ahli kelautan, dan warga setempat untuk menjelaskan situasi. “Media punya peran besar dalam menciptakan kesadaran, tapi jika tanpa verifikasi bisa menebar kecemasan. Warga ingin solusi, bukan ketakutan,” ia tegas.
Persoalan reklamasi di laut pesisir memang telah menjadi sorotan global — dampak ekosistem, kerusakan terumbu karang, dan penurunan biodiversitas adalah realita yang tidak bisa diabaikan. Namun menurut Mukti Ali, menyematkan label “Pulau Pari akan hilang” sebagai narasi utama tanpa pertimbangan ilmiah bisa mereduksi kompleksitas masalah.
Ia berharap agar aksi warga dan respon kebijakan tidak berjalan di luar kerangka musyawarah dan kajian lingkungan. “Kita butuh dialog terbuka antara warga, pemda, KKP, dan ahli. Jangan saling mencurigai dulu. Kalau kita bangun komunikasi dan data yang akurat, kita bisa cari solusi bersama.”











