Oleh: Isna Sahri
Gelombang angin yang berhembus kencang tak mengalahkan niat Rahman menyebrang ke Pulau Panggang untuk bertemu dambaan hati, sudah setengah tahun sejak terakhir pertemuan mereka dan selama itu hanya sepucuk surat yang menjadi obat rindu bagi mereka.
“Dek… tunggu abang” bisik Rahman dalam hati.
Mendayung terasa ringan baginya meskipun perahu harus melawan arus dan angin kencang. Perjalanan normal biasanya ia tempuh dalam waktu dua puluh menit dengan menggunakan perahu sampan bertenaga mesin berukuran tiga meter. Namun setelah 10 menit berlayar gelombang ombak semakin menderu, angin semakin berseteru, dan matahari bersembuyi malu hingga digantikan oleh awan yang kelabu.
Ia kembali kepada realita, dimana selama perjalanan Rahman berada didunianya yang terus memikirkan tambatan hati. Rasa gembiranya sirna ketika sampannya terhempas ombak dan ia terlempar jauh dari sampan. Otot-otot kakinya yang kuat tak mampu membawa dirinya kembali ke sampan karena syok yang ia alami.
Rahman berusaha meraih galah yang biasa ia gunakan untuk menolak perahu untuk menopang dirinya yang lemas, namun belum sempat ia menarik galah ke pelukannya, ombak besar kembali menggulung dan menenggelamkan Rahman.
“Apakah maut segera menjemput ku?” Rahman membatin dalam keterpurukannya, ia tak mampu berenang ke permukaan laut, seluruh tubuhnya terasa kaku, bahkan untuk menggerakkan jarinya saja ia tak mampu. Laut seakan menelannya hidup-hidup, ia merasa kesempatan hidupnya sudah tertutup, dalam kesulitannya Ia tetap mengingat dengan kotak yang berada disaku celananya, meski sulit ia terus memegang erat agar tidak terbawa ombak.
Kotak kecil itu membawa memori bersama sang kekasih. Ia mengingat awal terjalinnya hubungan mereka, Rahman sangat bahagia ketika dapat berbincang dengan gadis pujaannya Rahmi, dimana ia menjadi penggemar rahasia yang hanya mengamati Rahmi dari jauh. Karaker Rahman yang introvert membuatnya sulit untuk menyapa apalagi bercanda, terlebih rasa gerogi yang membuat seluruh tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya untuk mendekati pujaan hatinya.
Keindahan paras Rahmi di matanya terlihat sangat sempurna, senyumannya begitu mempesona, suaranya terdengar begitu merdu dan menggetarkan jiwa. Cinta membuatnya buta dan semuanya terasa indah. Ia sendiri kaget dengan sikapnya ketika menyapa Rahmi dan mendapatkan respon positif, ia memulai percakapan, meski tak lama bercengkrama namun memberikan kebahagiaan luar biasa dihatinya. Pertemuan itu membuat Rahman memberanikan diri untuk maju dan menuliskan surat cinta pertamanya.
“Hembusan angin membuat hati ku tenang, sama seperti ketika aku melihat senyum mu kala itu. Baju hijau yang kamu kenakan sangatlah cocok dengan perawakan mu yang tenang. Tahukah kamu arti dari warna hijau? Ia melambangkan ketenangan dan menyejukkan, sama seperti keberadaanmu dalam dunianku. Ini bukan hanya gombalan namun terasa nyata dibenak ku.’’
***
Rahmi, si gadis manis dari Pulau Panggang. Setiap harinya ia membantu orang tuanya berjualan gorengan keliling tempat tinggalnya, banyak orang yang membeli makanannya karena keramahan yang Rahmi miliki. Ketika itu Rahmi berada di dermaga untuk mengantarkan pesanan kue kepada nelayan yang akan pergi melaut, saat itulah awal mula ia jatuh hati kepada Rahman pemuda tinggi dan hitam manis.
Bukan karena ia terjatuh dan pemuda itu yang menolongnya, atau sang pemuda kaya yang membeli semua barang dagangannya, bukan juga ia jatuh cinta karena melihat ketampanan dan ketekunannya dalam bekerja seperti serial-serial ftv, melainkan ketika si pemuda itu mulai mencandainya .
“Rahmi uangnya ada yang jatuh tuh”. Tanpa pikir panjang Rahmi menunduk mencari uang yang katanya terjatuh. Namun bukannya membantu pemudah itu tertawa terbahak-bahak melihat Rahmi yang kebingungan mencari uangnya.
“Bang Rahman boongin saya yah?” tanyanya sambil menghitung uang yang ia pegang. Ternyata candaan anak SD itu membuat kedua hati muda-mudi itu jatuh hati. ia sudah lama mengenal sosok Rahman karena satu sekolah saat SMP dan SMA, terlebih Rahman adalah sosok yang aktif di kegiatan Pramuka, sama sepertinya. Candaan itu membawa mereka kedalam balutan asmara. Mereka mulai bertukar surat dan menjadi sahabat pena sampai keduanya mengungkapkan perasaan mereka.
***
Sejak pagi Rahmi sudah sibuk berada di dapur membuat pucue makanan khas Pulau Seribu yang berbahan dasar ikan, yang nantinya akan disajikan kepada tambatan hatinya. Selama proses pembuatan pucue sudut dibibirnya terus tersimpul, ia mengingat surat terakhir yang diberikan sang pujaan hati.
“Dik… meski malam telah berlalu dan hari berganti pagi, perasaan ku tetap merindu, sepucuk surat dari mu tak melegakan rasa haus di dalam hati yang kian menggebu. Dik… meski tahu kita tinggal di bumi yang sama, melihat langit yang sama, merasakan kehangatan matahari yang sama namun hal itu tak memuaskan hati ku. Aku ingin selalu bersama mu. Dik… Terlentang sama makan abu, tengkurap sama makan tanah, bila mana kamu berkenan, sudikah kamu menerima abang di sisi mu? Abang akan datang ketika hari dimana bulan purnama sempurna terlihat, abang akan menunggu mu di dermaga pertama kali kita berjumpa untuk mendengarjawabanmu.”
Ingatan Rahmi yang terbang bebas mengingat isi surat kekasihnya membuat ia menaburkan banyak garam pada adonan makanan yang ia buat. Mungkin benar kata orang, jika seseorang yang ingin menikah masakannya akan terasa asin, karena raga dan pikiran sedang tak menyatu.
Waktu sudah berada pada pukul lima sore, Rahmi yang tak sabar bertemu kekasihnya bergegas lari ke dermaga. Sepanjang perjalanan menuju dermaga, angin kencang terus menerbangkan dedaunan, melihat itu rasa khawatir menghampirinya, dengan tergesa-gesa ia mengangkat setengah dari rok panjangnya agar bisa berjalan dengan cepat.
Sesampainya di dermaga langit menjadi kelabu, ia disambut dengan angin kencang dan deburan ombak yang menampar tubuhnya. Hari semakin gelap, badannya terus menggigil bahkan tubuh kecilnya tak bisa berdiri tegap, namun ia terus menunggu. Sambil menatap ke arah Pulau Pramuka.
Kemudian sebuah kapal besar yang menggandeng sampan berlabuh didekatnya, dengan senyu sumringah ia menghampiri kapal tersebut, karena ia hapal betul sampan yang ada dibelakang kapal adalah milik tambatan hati. Namun orang yang ditunggu tak jua keluar dan menghampirinya.
“Permisi Wak, ini yang punya sampannya kemana?”. dengan takut Rahmi memberankan diri bertanya kepada awak kapal.
“Kurang tahu saya dek, sampan ini udah terombang ambing didekat situ dan udah gak ada orangnya, ini saya mau hubungi polisi buat minta bantuan nyari orang”. Laki-laki paru bayah itu menjelaskan sambil menunjuk kearah karang besar yang ada diantara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.
Jantungnya berdegup kencang mendengar pernyataan tersebut. Tak sanggup lagi menopang badannya ia pun tersungkur, hati terasa perih bagai luka bertabur garam, air mata seakan kering tak dapat keluar namun terasa sangat menyedihkan. Tak dapat berkata-kata, Ia hanya melihat buih-buih lautan yang terus berkejaran.
***
Matahari mulai bersembunyi namun kehangatannya masih terasa, angin semilir lembut mengibaskan rok hitam Rahmi yang lebar. Purnama membuat laut menjadi pasang hingga air laut hampir menenggelamkan dermaga. Setiap purnama ia berdiri didermaga, menebar bunga dan menunggu sang kekasih, meski tahu orang yang ia tunggu tak akan datang menemui.
Sambil memegang kotak bekal berisikan pucue yang ia buat, air mata membasahi pipinya merahnya. Sudah dua tahun berlalu namun hatinya terus merindu, tak ada lagi surat yang datang untuk mengutkan hati yang rapuh.
“Bang, apa kabar? aku menangis hanya karena rindu, jangan salahkan aku bila terus seperti ini, karena kau tahu pasti bahwa aku telah jatuh hati pada mu, hari-hari tanpa mu sangat terasa sunyi. Bang, berkali-kali ku ungkapkan bahwa aku merindukan mu, namun sudi kah kau datang menghampiri, walau sekedar dalam mimpi. Tertatih-tatih aku melupakan mu, namun tak sanggup aku melepaskan. Bang, tak adakah surat terakhir untuk ku agar aku ikhlas melepaskan mu?’’.
T A M A T






