Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai prioritas nasional oleh pemerintahan Prabowo-Gibran kini menjadi sorotan tajam, terutama di wilayah Kepulauan Seribu. Di Pulau Tidung, salah satu titik pelaksanaan program, dapur MBG belum beroperasi meski sudah lebih dari sebulan sejak pembangunan dimulai. KSNews menelusuri akar persoalan yang membuat ribuan anak didik di wilayah ini belum menerima manfaat yang dijanjikan.
MBG dirancang sebagai solusi peningkatan gizi anak dan daya saing pendidikan. Namun, di lapangan, pelaksanaannya jauh dari harapan. Di Pulau Tidung, pembangunan dapur MBG sempat mangkrak dan baru memasuki tahap lanjutan. Sementara itu, anak-anak di Pulau Tidung, Lancang, dan Pari masih harus mengganti MBG dengan uang jajan pribadi, menambah beban ekonomi keluarga.
Imam Cahyadi, tokoh muda lokal, menyuarakan keresahan warga. “Kami dirugikan. Anak-anak harus keluar uang sendiri. Pemerintah harus tegas soal batas waktu. Dan yang lebih penting, pengelolaan MBG jangan dimonopoli,” tegasnya. Ia menyoroti potensi ketimpangan jika dapur MBG dikelola oleh pihak luar pulau, yang bisa mengabaikan konteks lokal dan pemerataan ekonomi.
KSNews menghubungi Dendi, Koordinator Wilayah MBG Kepulauan Seribu, yang mengakui belum ada data pasti penerima manfaat karena pendataan belum dilakukan. Ia menyebut empat dapur MBG sudah beroperasi: Pulau Kelapa, Harapan, Untung Jawa, dan Panggang (meski kini sedang renovasi). Sementara Pulau Tidung, Lancang, dan Pari masih dalam tahap pembangunan. Pulau Sabira bahkan baru tahap pendaftaran.
“Setelah saya menjabat sebagai korwil, saya sudah bertemu dengan Pak Ma’mun selaku mitra BGN di Pulau Tidung dan kami sepakat untuk melakukan percepatan. Targetnya, dapur MBG Tidung bisa operasional bulan November,” ujar Dendi. Namun, ketika ditanya soal sanksi jika target tak tercapai, ia belum memberikan jawaban.
Ketidakpastian ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab atas keterlambatan dan bagaimana transparansi pengelolaan dijamin? KSNews mencatat bahwa tidak adanya data penerima manfaat dan belum turunnya surat keputusan penempatan kerja Kepala SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) menjadi hambatan utama.
Di sisi lain, warga Pulau Tidung merasa terpinggirkan. “Kami tidak ingin jadi penonton di program yang seharusnya milik kami,” ujar Imam. Ia menekankan pentingnya pelibatan warga lokal dalam pengelolaan MBG agar manfaat ekonomi juga dirasakan langsung oleh masyarakat pulau.
Program MBG sebelumnya juga sempat diterpa isu keracunan massal di beberapa wilayah, yang diduga akibat kelalaian pengelola dan kurangnya pengawasan. Hal ini menambah beban kepercayaan publik terhadap program yang seharusnya menjadi solusi, bukan sumber masalah baru.
KSNews menemukan bahwa tidak ada mekanisme pengaduan yang jelas bagi warga jika terjadi keterlambatan atau pelanggaran dalam pelaksanaan MBG. Transparansi anggaran, pemilihan mitra pengelola, dan evaluasi berkala menjadi kebutuhan mendesak agar program ini tidak hanya menjadi slogan.
Di tengah janji percepatan, warga Pulau Tidung masih menunggu. Anak-anak tetap bersekolah tanpa jaminan makan bergizi gratis. Orang tua tetap mengeluarkan uang jajan harian. Dan dapur MBG, yang seharusnya menjadi simbol keadilan gizi, masih berupa bangunan setengah jadi.
KSNews akan terus memantau perkembangan MBG di Kepulauan Seribu, memastikan suara warga tidak tenggelam di antara laporan resmi dan janji kebijakan. Karena di pulau-pulau kecil, setiap program bukan sekadar angka, tapi soal hidup yang layak dan masa depan yang setara.











