KSNews – Air laut yang tenang dan pasir putih Pulau Pari menyimpan kegelisahan. Sejak bertahun-tahun, warga pulau di Kepulauan Seribu Selatan ini hidup dalam ketidakpastian, dihantui bayangan penggusuran dan sengketa lahan yang tak kunjung usai. Mereka menyebutnya hidup di ‘tanah abu-abu’.
Jumat sore yang teduh di Jakarta, Mujianto, seorang tokoh pemuda Pulau Pari sekaligus penggiat jasa wisata, menyampaikan puncak keresahan itu. Ia datang dari Kepulauan Seribu, jauh melintasi laut, membawa suara warga.
“Kami sebagai masyarakat Pulau Pari ingin tentram, damai, dan ingin punya tempat tinggal yang tetap,” ujar Mujianto, warga RT 002 RW 004 Kelurahan Pulau Pari. Suaranya terdengar berat, mencerminkan lelah yang diakumulasi selama bertahun-tahun.
Ketidakjelasan status tanah ini, katanya, menjadi beban psikologis yang masif. Warga tidak tahu ke mana arah masa depan tempat tinggal mereka. Ketakutan itu nyata.
Lelah yang dimaksud Mujianto bukan hanya soal menghadapi ketidakpastian pemerintah atau perusahaan pengembang. Lelah itu juga datang dari internal warga sendiri.
“Kami sudah lelah dengan adanya bentrokan antar warga,” keluhnya. Konflik agraria memang kerap membelah masyarakat di level akar rumput.
Kondisi tersebut diperburuk dengan masuknya pihak-pihak eksternal. Mujianto melihat semakin banyak oknum yang masuk ke Pulau Pari dan ikut campur dengan permasalahan mereka. Oknum-oknum ini, kata dia, hanya menambah keruh suasana.
Menurutnya, solusi atas kemelut Pulau Pari harus datang dari inisiatif Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Seribu sendiri. Pihak Pemkab harus mengambil alih kemudi penyelesaian.
“Kami berharap Pemkab dan para pengembang duduk bareng mencari solusi,” tegas Mujianto. Namun, ia memberi syarat: pertemuan itu harus dilakukan di bawah naungan Pemkab.
Mujianto bahkan menyarankan fasilitas milik Pemkab yang disediakan. Ia memberi contoh: minimal di Mitra Praja, gedung yang sering digunakan Pemkab Kepulauan Seribu untuk acara resmi di daratan.
Langkah ini dianggap penting untuk menjamin netralitas dan otoritas Pemkab dalam mencari jalan keluar permanen. Tanpa kepastian dari Pemkab, polemik ini dikhawatirkan akan terus berulang.
Kepastian tempat tinggal permanen menjadi tuntutan utama warga, mengakhiri status ‘tanah abu-abu’ yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun.
Tuntutan warga ini bukan sekadar permintaan administrasi, tetapi seruan moral untuk melindungi eksistensi mereka sebagai penduduk asli pulau.
Selama hak tinggal mereka dipertanyakan, pembangunan infrastruktur dasar dan pengembangan pariwisata berbasis komunitas akan selalu terhambat oleh rasa cemas.
Mujianto menggambarkan, dampak sengketa ini sudah merugikan sektor pariwisata yang menjadi nafas ekonomi utama Pulau Pari.
Wisatawan yang datang sering mencium aroma konflik, yang secara tidak langsung merusak citra keramahan lokal dan kenyamanan berlibur yang selama ini dijunjung tinggi.
Ironisnya, pulau yang diklaim sebagai salah satu destinasi unggulan Jakarta justru gagal memberikan kedamaian bagi warganya sendiri.
Kehadiran Pemkab dalam memediasi adalah kunci untuk mengembalikan suasana kondusif, sehingga energi warga tidak lagi terkuras untuk bertikai, melainkan fokus pada kemajuan ekonomi.
Mereka mendesak agar Pemkab segera merealisasikan forum mediasi yang sah. Jika pihak-pihak terkait, khususnya pengembang, benar-benar memiliki niat baik, maka proses duduk bersama di bawah otoritas pemerintah seharusnya tidak menjadi halangan.
Harapan terakhir Mujianto sederhana: ketenangan. “Kami hanya ingin damai,” tutupnya, sebuah kalimat penutup yang menyimpulkan kompleksitas masalah agraria dan harapan warga kecil di tengah hiruk pikuk Ibu Kota.











Every weekend i used to pay a visit this web page, as i want enjoyment, for the reason that this this site conations really nice funny material too. https://meds24.sbs/