Resmi ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Seribu. Namun dalam kenyataannya, denyut birokrasi dan aktivitas pejabat daerah lebih terasa di Gedung Mitra Praja, Sunter, Jakarta Utara, sebuah kantor transit yang sejatinya hanya diperuntukkan untuk keperluan administratif darurat dan representatif. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius: siapa yang sebenarnya sedang dilayani oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu?
Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pulau Seribu (GMPS) telah lama menggugat fenomena ini. Mereka menilai absennya para pejabat dari kantor resmi di Pulau Pramuka bukan hanya soal kealpaan birokrasi, tapi juga memicu dampak sosial yang jauh lebih dalam—minimnya inspirasi dan motivasi bagi generasi muda di Kepulauan Seribu untuk menempuh pendidikan tinggi.
Menurut data terakhir, hanya sekitar 4% dari total ±30.000 penduduk Kepulauan Seribu yang berhasil meraih gelar sarjana. Di balik angka ini tersembunyi problem struktural: anak-anak Kepulauan Seribu tumbuh tanpa melihat figur-figur teladan dari kalangan pejabat daerah. Ketika pemimpin daerah lebih memilih berkantor di Sunter, jauh dari jangkauan warga, bagaimana mungkin mereka mampu membangun kedekatan emosional atau mendorong aspirasi masa depan generasi muda?
Di kantor kabupaten yang berada di Pulau Pramuka, seringkali hanya petugas PPSU dan PJLP yang terlihat mengikuti apel atau upacara peringatan hari besar nasional. Sementara para pejabat, ASN eselon, hingga kepala dinas lebih memilih merayakan seremonial di Mitra Praja. Realita ini menjelaskan mengapa pekerjaan seperti PPSU menjadi “primadona” di kalangan pemuda—bukan karena mereka malas atau tak bercita-cita, tetapi karena realitas yang mereka lihat setiap hari tak memberi ruang untuk bermimpi lebih jauh.
Ketika GMPS mempertanyakan hal ini kepada pihak Pemkab, alasan yang disampaikan adalah bahwa aktivitas pemerintahan di Pulau Pramuka dinilai kurang efisien karena adanya kebutuhan untuk menghadiri berbagai rapat koordinasi di Balai Kota Jakarta. Dengan kata lain, keberadaan di kantor pusat dianggap menyulitkan sinkronisasi kerja antarinstansi yang mayoritas berbasis di daratan Jakarta.
Namun alasan ini menuai keraguan. Tidak semua ASN harus hadir dalam rapat koordinatif di Balai Kota. Faktanya, bupati sebelumnya mampu menjalankan roda pemerintahan secara aktif dari Pulau Pramuka tanpa kendala berarti. Aktivitas berjalan normal, dan yang lebih penting, pemerintah hadir langsung di tengah masyarakat. Mereka bisa mendengar aspirasi warga secara langsung, bukan hanya melalui laporan kertas.
Dalam konteks hukum tata pemerintahan, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Kantor pemerintahan sebagai pusat kekuasaan administratif daerah seharusnya menjadi lokasi strategis untuk melayani, bukan menjauh dari masyarakat. Jika pusat pemerintahan tidak aktif di wilayahnya, maka terjadi pelanggaran prinsip desentralisasi pelayanan publik. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Lebih jauh, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan penyelenggara pelayanan publik untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan yang mudah diakses masyarakat. Bagaimana mungkin prinsip ini ditegakkan jika para pemegang kuasa justru berjarak secara geografis dan sosial dari rakyatnya?
Kini, keresahan masyarakat Kepulauan Seribu bukan sekadar retorika. Ini adalah panggilan untuk kejelasan posisi. Gedung Mitra Praja adalah kantor transit, bukan kantor pemerintahan resmi. Pulau Pramuka adalah ibu kota administratif Kabupaten Kepulauan Seribu, dan di sanalah seharusnya pemerintah hadir secara utuh dan nyata.
Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta turun tangan. Harus ada evaluasi dan ketegasan. Apakah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu masih akan terus menjalankan fungsi dari kejauhan—dengan hanya memantau melalui laporan—atau berani hadir kembali, menyapa warganya dari dekat, dan menjadi inspirasi nyata bagi generasi muda yang kini kehilangan arah?
Karena pada akhirnya, kehadiran pemimpin bukan hanya soal jabatan—tetapi tentang kehadiran yang bisa dilihat, disentuh, dan diteladani.
Penulis adalah Ketua Gerakan Mahasiswa Pulau Seribu (GMPS) : Rahman Hakim
*Tulisan ini merupakan kiriman dari pembaca sebagai bagian dari keterlibatan komunitas dalam menyampaikan opini, pengalaman, atau informasi penting. KepulauanSeribu.News menghargai kontribusi dan berkomitmen untuk memberikan ruang bagi suara masyarakat.
Saran yah, seharusnya pemkab monitor pulau”permukiman sudah baik blm segi pembangunan dan tata ruang nya,jngan hanya segelintir pulau aj jadi prioritas