KSNews — Di tengah birunya laut Kepulauan Seribu, wajah muram ekosistem terkuak. Sampah plastik, limbah rumah tangga, dan potongan kayu yang terbawa arus dari Teluk Jakarta kembali menjajah perairan Pulau Panggang. Kali ini, bukan sekadar pemandangan memilukan—tapi sebuah alarm keras: penyu-penyu yang dilindungi ditemukan nyaris mati terjerat limbah, dan rekaman penyelamatan mereka menggemparkan media sosial.
Mustakim, nelayan asal Pulau Kelapa, tak bisa menyembunyikan kemarahannya. “Setiap tahun, sampah Jakarta sampai ke sini. Bukan cuma penyu yang terjebak, kadang lumba-lumba juga. Kami makin susah cari ikan, laut makin rusak,” ujarnya lirih, menunjukkan video penyu lemah yang terombang-ambing di antara botol plastik dan stereofoam.
Ini bukan sekadar fenomena musiman. Bagi warga Kepulauan Seribu, ini adalah bencana tahunan yang tak pernah mendapat penyelesaian. Setiap musim hujan, limpasan dari daratan Jakarta mengalir tanpa kendali, menumpuk di laut dan mengusir kehidupan.
Deden Heksa, Fungsional Teknis Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, menyebut situasi ini “genting”. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas), dua spesies yang kini semakin langka, terancam kehilangan habitatnya secara permanen. “Tanpa langkah konkret, kita hanya menghitung mundur waktu kepunahan mereka,” tegasnya.
Ancaman ini tak berhenti di penyu. Lumba-lumba yang kerap muncul di sekitar perairan kini menghadapi bahaya baru: gangguan rantai makanan akibat plastik mikro dan berkurangnya populasi ikan. Bagi nelayan, laut yang kotor berarti perut kosong. “Kami harus melaut lebih jauh, lebih lama, hanya untuk dapatkan ikan yang dulu mudah kami tangkap di sini,” kata Mustakim.
Ironisnya, Kepulauan Seribu yang dijual sebagai surga wisata bahari, perlahan berubah menjadi kuburan ekosistem. Plastik mengapung di mana-mana, dan tumpukan sampah menjadi panorama rutin.
Aktivis lingkungan menyerukan reformasi total: sistem pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir, edukasi publik yang berkelanjutan, dan pengawasan ketat atas kawasan konservasi. “Kita sedang menyaksikan kehancuran perlahan tapi pasti,” kata seorang aktivis lokal.
Kini, satu pertanyaan menggantung di udara pesisir yang semakin kotor: Apakah kita akan terus membiarkan laut mati pelan-pelan, atau saatnya bangun dan bertindak?