KSNews — Kepulauan Seribu, destinasi wisata yang sering digambarkan dengan keindahan laut dan pasir putih, menyimpan ironi pahit bagi penduduknya krisis air bersih yang tak kunjung teratasi. Selama dua dekade terakhir, berbagai program pemerintah silih berganti mencoba menyelesaikan masalah ini, dari Brackish Water Reverse Osmosis (BWRO) hingga Sea Water Reverse Osmosis (SWRO).
Namun, alih-alih menjadi solusi jangka panjang, kedua sistem ini justru menjadi saksi bisu atas kebijakan yang gagal, infrastruktur yang tak terawat, dan ketidakmampuan negara dalam menjamin hak dasar masyarakatnya.
Ketika BWRO tak lagi beroperasi optimal, harapan beralih ke SWRO yang kini dikelola PDAM Jaya—namun sistem ini justru mengalami gangguan berkepanjangan. Kini, warga yang telah lebih dari dua minggu tanpa air bersih terpaksa mandi dengan air asin, menunggu tanpa kepastian kapan layanan bisa kembali pulih.
Sementara itu, di media sosial, tekanan publik semakin menggema. “Demo bawa gayung ke PDAM!” menjadi seruan warga yang frustrasi atas pengelolaan air bersih yang semakin buruk.
Degradasi Lingkungan dan Intrusi Air Laut
Pada awal 2000-an, Kepulauan Seribu mulai mengalami degradasi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya tanpa regulasi yang ketat. Jumlah penduduk bertambah, pemukiman semakin padat, dan pengambilan air tanah terus berlangsung tanpa adanya sistem pemulihan ekosistem. Akibatnya, intrusi air laut semakin parah, menjadikan sumber air tanah yang dulunya bisa dikonsumsi, kini terasa asin dan tak layak digunakan.
Tak ada kebijakan mitigasi yang berjalan efektif untuk memperlambat intrusi ini. Konservasi hutan mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami, justru tergeser oleh pembangunan dan kepentingan ekonomi yang lebih dominan. Hasilnya? Air bersih di Kepulauan Seribu semakin sulit didapat, dan masyarakat semakin bergantung pada teknologi desalinasi seperti SWRO dan BWRO—yang justru tidak berfungsi maksimal.
BWRO yang dulu menjadi harapan kini tak lagi mampu memenuhi kebutuhan warga. Sistemnya tidak diperbarui, pemeliharaan minim, dan tak ada langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas produksi air bersih. Dengan BWRO yang semakin menurun, warga mulai menggantungkan harapan pada SWRO yang dikelola PDAM Jaya—namun realitas di lapangan tak seindah yang dijanjikan.
SWRO, yang seharusnya menjadi solusi utama, terus mengalami gangguan operasional. Listrik yang tidak stabil menjadi kendala utama, membuat sistem ini mati berulang kali. Belum lagi, persoalan pemeliharaan yang tidak dilakukan secara rutin menyebabkan sistem semakin rentan terhadap kerusakan.
PDAM Jaya yang diberi mandat untuk mengelola SWRO di beberapa pulau—Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Pramuka—justru tidak mampu memastikan suplai yang berkelanjutan. Alih-alih menjadi solusi, SWRO justru menjadi beban bagi masyarakat yang terus mengeluh karena layanan yang tidak berjalan optimal.
Bantuan Air Bersih yang Bersifat Sesekali
Ketika layanan SWRO mati berkepanjangan, solusi yang diberikan pemerintah tidak lebih dari sekadar bantuan sesekali. Distribusi air bersih kerap dilakukan saat musim kemarau ekstrem, namun bukan sebagai langkah sistematis yang bisa menyelesaikan krisis jangka panjang.
Pendekatan seperti ini justru memperlihatkan minimnya komitmen dalam membangun sistem pengelolaan air yang berkelanjutan. Warga Kepulauan Seribu terus bergantung pada bantuan dari organisasi sosial dan distribusi air galon, tanpa ada kepastian kapan mereka bisa mendapatkan layanan yang layak.
Dengan krisis yang terus berulang, masyarakat Kepulauan Seribu mulai mengambil langkah advokasi. Media sosial kini menjadi kanal utama untuk mengangkat isu ini, dengan berbagai keluhan yang semakin menggema. Seruan “Demo bawa gayung ke PDAM!” menunjukkan betapa tingginya frustrasi warga terhadap kebijakan pemerintah yang seolah tak mendengarkan suara mereka.
Dalam berbagai aksi, warga menuntut audit transparan terhadap operasional SWRO dan BWRO serta mempertanyakan penggunaan anggaran pemeliharaan yang tidak jelas. Jika tekanan publik ini terus meningkat, besar kemungkinan akan ada dorongan untuk reformasi pengelolaan air bersih di Kepulauan Seribu.
Dua dekade berlalu, Kepulauan Seribu masih terjebak dalam siklus krisis air bersih yang tak kunjung usai. Intrusi air laut meningkat, SWRO dan BWRO tak berfungsi optimal, dan bantuan air bersih hanya hadir saat krisis sudah terlalu parah.
Saatnya ada langkah nyata untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah harus lebih transparan dalam pengelolaan anggaran, memastikan pemeliharaan sistem berjalan efektif, dan menghadirkan kebijakan berbasis keberlanjutan.
Tanpa perubahan mendasar, Kepulauan Seribu akan terus berada dalam dilema air bersih—sebuah ironi di tengah birunya laut dan ramainya wisata.