KSNews – Empat dekade telah berlalu sejak rig-rig minyak dan gas bumi berdiri di perairan Kepulauan Seribu, menghisap isi perut bumi di bawah lautnya. Namun, bagi masyarakat setempat, industri raksasa ini tak lebih dari pemandangan di cakrawala—menghasilkan kekayaan yang tak pernah mereka rasakan.
Mereka bilang, Kepulauan Seribu tidak seperti Papua. Tidak ada bagi hasil triliunan rupiah, tidak ada Blok Tangguh yang mengangkat perekonomian lokal. Tapi jika memang demikian, mengapa aktivitas eksploitasi terus berlangsung? Mengapa nelayan dilarang mendekati area eksplorasi di perairan yang seharusnya mereka miliki?
Dulu, para nelayan Kepulauan Seribu bebas melaut sejauh mata memandang. Kini, batas-batas tak kasat mata menghalangi mereka mendekati kawasan eksploitasi migas. Nelayan diusir, dengan alasan keamanan, sementara industri besar bebas menguasai laut tanpa ada transparansi soal hasil eksplorasi.
Mereka bertanya: Berapa banyak minyak dan gas yang telah diambil? Berapa besar kontribusinya bagi perekonomian Kepulauan Seribu? Jawaban tak pernah datang. Yang tersisa hanyalah program CSR sekadarnya—renovasi sekolah, dermaga kecil, dan bantuan alat tangkap, seolah cukup untuk membayar harga laut yang mereka tak lagi miliki.
Tenaga Kerja Lokal? Omong Kosong
Industri migas sering mengklaim memberikan lapangan pekerjaan bagi warga lokal. Namun, masyarakat Kepulauan Seribu melihat realitas yang berbeda. Posisi strategis tetap diisi oleh orang luar, sementara penduduk asli hanya dijadikan angka dalam statistik pemberdayaan tanpa benar-benar mendapatkan akses ke peluang kerja yang layak.
“Kami hanya jadi penonton. Kami melihat kapal-kapal besar keluar-masuk, melihat rig-rig menjulang di tengah laut, tapi tak ada manfaat nyata yang kami rasakan,” keluh seorang warga.
Di atasnya, Kepulauan Seribu dijual sebagai destinasi wisata unggulan dengan pantai-pantai eksotis. Tapi di bawah permukaan, jalur pipa minyak dan gas merayap tanpa diketahui masyarakat, mengalir ke arah yang tidak transparan. Wisatawan boleh datang dan menikmati keindahan pulau, tapi nelayan—anak asli laut—justru dilarang menyentuh perairan yang dulu menjadi sumber kehidupan mereka.
Masyarakat mulai bertanya: Jika Kepulauan Seribu memang bukan daerah kaya migas, mengapa eksploitasi masih berlangsung? Jika ada hasil, di mana hak kami?
Menanti Transparansi yang Tak Pernah Datang
Redaksi KSNews berupaya mengonfirmasi kondisi ini kepada pihak terkait, termasuk otoritas pemerintah yang bertanggung jawab atas eksplorasi migas di Kepulauan Seribu. Namun, hingga artikel ini ditulis, tidak ada jawaban. Sikap bungkam ini semakin memperkuat dugaan bahwa masyarakat memang sengaja dibiarkan tidak tahu.
Masyarakat Kepulauan Seribu tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin kejelasan. Mereka ingin tahu apakah ada hak mereka yang seharusnya dikembalikan. Mereka ingin memahami apa yang sesungguhnya terjadi di bawah perairan yang selama ini mereka sebut sebagai rumah.
Jika eksploitasi ini memang sah dan tidak membawa manfaat bagi warga, katakanlah dengan jujur. Tapi jika ada sesuatu yang seharusnya kembali ke masyarakat, maka transparansi adalah satu-satunya jawaban.