KSNews — Pulau-pulau di Kepulauan Seribu kini tampak lebih gagah. Bukan karena populasi homestay yang kian padat, melainkan karena garis pantainya kini dihiasi deretan beton. Suku Dinas Sumber Daya Air (Sudin SDA) Kepulauan Seribu, dengan sigap dan terencana, telah menyelesaikan misi heroik: meninggikan tanggul di sepuluh pulau penduduk. Sebuah upaya mulia mengantisipasi ancaman dua musuh bebuyutan pesisir: banjir rob dan abrasi.
Kepala Sudin SDA, Mustajab, bahkan memastikan bahwa hasil pekerjaan ini sungguh efektif. Dengan bangga beliau menyebutkan keterlibatan petugas Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) lokal dalam menata kubus masif secara diagonal—sebuah detail teknis yang terdengar mengagumkan bagi telinga birokrat.
Kata beliau, hasilnya bahkan sudah mampu menahan gelombang sebelum dicor beton. Ini adalah prestasi luar biasa, sebab artinya tanggul itu perkasa bahkan di tahap setengah jadi.
Namun, di balik kegagahan kubus-kubus beton tersebut, ada suara sunyi dari para nelayan dan penggiat wisata. Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Pramuka, hingga Pulau Sabira, kini memiliki dinding beton baru yang membingkai laut.
Pemandangan sunset yang dulu bisa dinikmati sambil kaki terbenam di pasir, kini harus dilihat dari balik pagar pembatas yang terbuat dari bahan bangunan. Barangkali, ini adalah cara pemerintah mengubah definisi keindahan pesisir: dari keindahan alami menjadi keindahan konstruktif.
Tentu, keselamatan adalah prioritas. Kita harus mengapresiasi kecepatan Lurah Pulau Harapan, Muhammad Yusuf, yang menyambut baik program ini. Warga kini “merasa lebih tenang menghadapi cuaca ekstrem.” Siapa yang tidak tenang jika rumahnya dilindungi oleh tembok tinggi dari ancaman alam yang seharusnya mereka hadapi dengan kearifan lokal, bukan dengan beton impor?
Ini adalah ironi betonisasi di kepulauan. Ketika solusi seharusnya beradaptasi dengan alam—seperti menanam mangrove atau membuat ecobrick pemecah ombak—kita memilih solusi yang paling cepat, paling massif, dan paling… permanen: Tembok. Seolah-olah lautan adalah musuh yang harus dipagari, bukan habitat yang harus diselamatkan.
Mustajab menyebutkan bahwa panjang tanggul bervariasi, mulai dari 50 meter hingga 200 meter. Bayangkan jika panjang tanggul ini dikalikan dengan sepuluh pulau. Berapa hektar pantai alami yang kini tergantikan oleh tumpukan semen? Pantai Sentigi di Pulau Untung Jawa, yang tanggulnya sempat jebol, kini bukan hanya diperbaiki, tetapi dipastikan akan lebih kaku, lebih tegak, dan lebih… tidak seperti pantai.
Barangkali, tujuan jangka panjangnya adalah menciptakan semacam “Venice of Jakarta” versi tanggul. Turis tidak lagi datang untuk menikmati pantai alami, tetapi datang untuk berfoto di depan tembok kokoh yang berhasil menahan gelombang. Dengan demikian, Kepulauan Seribu tidak lagi menjual keindahan alamnya, melainkan menjual keberhasilan proyek infrastrukturnya.
Selamat, Kepulauan Seribu! Tanggul-tanggul Anda kini menjulang. Warga Anda kini aman dari rob. Tapi, bisakah Anda katakan, apakah jiwa pulau itu, yang selama ini dicintai karena kealamiannya, juga ikut selamat di balik kubus masif itu? Atau justru, pantaiku benar-benar tak lagi seperti dulu, hanya menyisakan kenangan di balik dinding beton yang dingin.











