Scroll untuk baca artikel
INVESTIGASI

Mengapa Pemilik Kapal Penumpang Tradisional Terus Mengeluh Rugi? Cek Faktanya

Avatar photo
×

Mengapa Pemilik Kapal Penumpang Tradisional Terus Mengeluh Rugi? Cek Faktanya

Sebarkan artikel ini
Pelabuhan Muara Angke. Dok. Istimewa
Pelabuhan Muara Angke. Dok. Istimewa

Jakarta (KSNews) – Pemilik kapal penumpang tradisional di Kepulauan Seribu terus menghadapi kesulitan ekonomi akibat sistem penjualan tiket yang dinilai kurang transparan. Pemotongan hasil penjualan tiket oleh perusahaan penyelenggara mencapai 30 persen, membuat pemilik kapal hanya menerima 70 persen dari harga tiket yang dibayarkan penumpang.

Saat ditemui di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke beberapa waktu lalu, seorang pemilik kapal yang meminta namanya tidak disebutkan mengungkapkan kepada KSNews, bahwa kebijakan ini berdampak serius pada biaya operasional, termasuk pembelian BBM, perawatan kapal, dan pembayaran gaji nahkoda serta ABK.

“Kami hanya menerima 70 persen dari harga tiket. Dengan biaya yang terus meningkat, sulit bagi kami untuk tetap bertahan. Kalau jumlah penumpang turun, makin sulit lagi,” ujarnya.

Selain pemotongan hasil tiket, pemilik kapal juga menyoroti ketidakseimbangan sistem tiket kapal. Hingga saat ini, tiket hanya tersedia untuk keberangkatan dari Pelabuhan Muara Angke menuju pulau tujuan, sementara keberangkatan dari pulau ke Muara Angke tidak memiliki tiket resmi.

“Kami tidak tahu mengapa sistem ini dibuat seperti ini. Penumpang yang berangkat dari pulau ke Muara Angke tidak memiliki tiket resmi, sehingga tidak ada jaminan perlindungan bagi mereka,” tambahnya.

Ketidakjelasan sistem tiket ini juga berdampak pada jaminan asuransi bagi penumpang, yang hingga kini belum terkonfirmasi. Tanpa kepastian asuransi, penumpang kapal tradisional berisiko tidak mendapatkan perlindungan jika terjadi insiden di laut.

Ironisnya, Pelabuhan Muara Angke telah mengalami modernisasi besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir. Revitalisasi pelabuhan menghadirkan fasilitas canggih, seperti ruang tunggu berpendingin, sistem e-ticketing, jalur masuk yang tertata, serta akses ramah disabilitas.

“Meskipun infrastruktur telah diperbarui, masalah sistem tiket kapal tradisional masih belum terselesaikan,” tambahnya.

Industri transportasi laut seharusnya juga berperan dalam pemberdayaan sosial masyarakat, tetapi hingga kini, belum ada kontribusi nyata dari perusahaan penyelenggara tiket terhadap program sosial atau pembangunan komunitas di Kepulauan Seribu.

Pemilik kapal berharap adanya reformasi sistem tiketing yang lebih adil, baik dari segi harga tiket, regulasi, transparansi, maupun kontribusi sosial. Mereka juga mendesak instansi terkait untuk segera turun tangan, mengingat masalah ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa solusi konkret.

Jika tidak ada perubahan, industri transportasi laut di Kepulauan Seribu akan terus menghadapi tantangan besar, baik dari sisi keselamatan maupun kesejahteraan ekonomi masyarakat yang bergantung pada sektor ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *