Scroll untuk baca artikel
SOROTAN

Mushola At-Taubah Roboh, 20 Persen Rumah Pesisir Kepulauan Seribu Rawan Ambruk

Avatar photo
×

Mushola At-Taubah Roboh, 20 Persen Rumah Pesisir Kepulauan Seribu Rawan Ambruk

Sebarkan artikel ini
dok. Istimewa
dok. Istimewa

KSNews — Tak ada yang menduga Mushola Majelis Taklim At-Taubah akan ambruk secepat itu. Kamis pagi (17/7/2025), sekitar pukul 07.25 WIB, bangunan kecil yang berdiri di pesisir RT 07 RW 02 roboh, menenggelamkan sebagian tubuh dua warga ke dalam laut bersama puing kayu dan genting lapuk.

Salah satu korban adalah Mustafa, anak pemilik mushala yang pagi itu sedang bersih-bersih sebelum jamaah datang. “Saya lagi bersihin sajadah, tiba-tiba dengar suara ‘krak’. Atap jatuh, saya enggak sempat lari,” ujar Mustafa, memperlihatkan perban yang masih membalut lengannya.

Mushola At-Taubah berdiri menjorok ke laut, hanya ditopang tiang kayu tua yang sebagian sudah retak oleh waktu dan udara asin. Warga sekitar menyebut bangunan itu sudah lama disarankan untuk diperbaiki. Tapi seperti banyak bangunan di pesisir, keterbatasan dana membuat rencana itu selalu tertunda.

Bangunan berukuran 2×2,5 meter itu selama ini tak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga lokasi musyawarah warga, pengajian, hingga tempat mengaji anak-anak. Kini, hanya potongan kayu mengambang yang tersisa.

Tanpa respon cepat dari warga sekitar, bisa jadi korban lebih banyak. Warga menyelamatkan Mustafa dan seorang lansia yang hampir terjebak reruntuhan. Proses evakuasi berlangsung lama karena struktur bangunan langsung jatuh ke laut.

Kejadian ini menyalakan kembali alarm lama: rapuhnya banyak bangunan di bibir pantai pulau-pulau berpenduduk. Menurut Bambang Hartono, pengamat komunitas pesisir dari Universitas Bung Karno Jakarta, sekitar 20% rumah non-permanen di Kepulauan Seribu masuk kategori “rawan rubuh.”

“Bangunan pesisir kita berdiri di atas harapan dan kayu tua,” ujar Bambang. Ia menyebut tiga faktor utama penyebab kerawanan: angin laut yang ekstrem, struktur bangunan seadanya, dan material kayu lapuk tanpa perawatan teknis.

Menurutnya, kondisi ini bukan hanya ancaman bagi tempat tinggal, tapi juga ancaman sosial. “Saat satu bangunan rubuh, komunitas kehilangan tempat berkumpul. Itu luka sosial yang kadang tak disadari,” tambahnya.

Warga meminta lebih dari sekadar evakuasi. Mereka mendesak adanya audit bangunan pesisir secara berkala, dengan pendampingan teknis, pendanaan rehabilitasi, dan pelatihan membangun struktur aman di atas laut.

“Enggak usah mewah. Kami cuma butuh tiang kuat dan atap yang tahan angin,” ujar Mustafa. Ia berharap pemerintah tak datang hanya setelah bangunan runtuh, tapi hadir lebih awal sebagai pelindung potensi bahaya.

Bambang menyarankan agar Pemkab Kepulauan Seribu bekerja sama dengan lembaga teknis dan komunitas lokal untuk membuat peta rawan struktur bangunan pesisir. “Tanpa political will, kita hanya akan ganti nama korban di berita yang sama tahun depan,” ujarnya.

Tragedi ini bukan hanya tentang satu mushala yang roboh. Ia adalah cermin dari wajah infrastruktur pesisir yang rapuh, diam-diam menunggu waktunya. Dan suara Mustafa bukan sekadar teriakan panik—itu adalah seruan keselamatan yang menunggu didengar.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *