Scroll untuk baca artikel
EDITORIAL

Pulau Kucing dan Warga yang Dibiarkan Mati Pelan-pelan

×

Pulau Kucing dan Warga yang Dibiarkan Mati Pelan-pelan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. Dok. Istimewa
Ilustrasi. Dok. Istimewa

KSNews — Di ujung utara Jakarta, Kepulauan Seribu menyimpan luka lama yang jarang disorot: krisis layanan kesehatan. Saat harapan warga akan rumah sakit yang memadai belum juga terwujud, pemerintah justru merancang pembangunan Pulau Kucing—sebuah destinasi wisata khusus pecinta kucing.

Proyek ini dirancang menyerupai pulau-pulau tematik di luar negeri, lengkap dengan fasilitas penampungan dan interaksi pengunjung dengan satwa. Gagasan ini mungkin menarik secara visual, tapi bertolak belakang dengan realitas yang dihadapi manusia di sekitarnya.

Pulau-pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu masih menghadapi kesenjangan mendasar dalam akses layanan medis. Satu-satunya rumah sakit rujukan belum memiliki layanan rawat inap yang ideal. Alat kesehatan terbatas. Dokter spesialis tidak menetap, hanya datang dalam jadwal tertentu. Laboratorium untuk pemeriksaan dasar belum mampu menunjang diagnosa kritis.

Kapasitas ruang ICU minim, bahkan seringkali tidak tersedia. Bila ada pasien dengan kondisi berat, prosedur rujuk ke Jakarta menjadi satu-satunya pilihan. Tapi rujukan bukan proses instan. Pasien harus menempuh 1–3 jam perjalanan laut, dan jika cuaca buruk, penundaan bisa berujung fatal.

Ini bukan masalah baru. Ini masalah sistemik yang belum pernah benar-benar menjadi prioritas.

Kebutuhan akan RSUD tipe B—bukan rumah sakit darurat, bukan puskesmas dengan nama panjang—sudah lama dirasakan. Rumah sakit yang mampu menangani kasus menengah hingga berat, dengan dokter spesialis tetap, ruang rawat inap lengkap, ICU yang operasional, dan farmasi mandiri adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap hak hidup warga negara.

Sayangnya, proyek seperti Pulau Kucing justru mendapat perhatian lebih dulu. Gagasan yang belum menyentuh kebutuhan primer malah didorong dengan rencana anggaran dan target pembangunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah narasi pariwisata lebih penting dari keselamatan manusia?

Dalam konteks hukum, pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan setiap orang berhak atas akses terhadap sumber daya di bidang kesehatan. Undang-undang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimal menegaskan bahwa penyediaan layanan kesehatan dasar, termasuk penanganan darurat dan rujukan, adalah urusan wajib pemerintah daerah.

Mengabaikan pemenuhan layanan kesehatan bukan hanya kelalaian administratif, tapi bentuk pengingkaran terhadap mandat hukum yang jelas. Ironinya, di tengah pemenuhan hak dasar yang belum merata, muncul proyek yang bahkan tidak disebutkan dalam standar kebijakan prioritas publik.

Wacana bahwa Pulau Kucing dapat mendongkrak wisata dan ekonomi pun perlu diuji secara kritis. Pariwisata tidak akan berkelanjutan di wilayah yang sistem kesehatannya kolaps. Wisatawan juga mempertimbangkan jaminan keselamatan dan akses medis saat memilih destinasi. Membuat atraksi unik tanpa infrastruktur dasar hanyalah kosmetik jangka pendek.

Masalah ini bukan tentang kucing versus manusia. Ini soal akal sehat dalam menyusun prioritas kebijakan publik. Warga Kepulauan Seribu bukan warga kelas dua. Mereka warga resmi DKI Jakarta, pembayar pajak, dan pemilik hak yang setara dalam undang-undang. Ketika proyek simbolik lebih cepat diwujudkan daripada kebutuhan mendasar yang menyangkut nyawa, publik berhak bertanya: untuk siapa sebenarnya pembangunan ini?

Sudah saatnya pemerintah menghentikan narasi-narasi wisata yang tidak berpijak pada realitas warga. Sebelum membangun Pulau Kucing, bangunlah terlebih dahulu rumah sakit yang layak. Sebelum merancang konsep interaksi satwa, benahi sistem rujukan manusia. Selama masih ada nyawa yang bergantung pada kapal kecil di tengah laut, tak satu kucing pun seharusnya didahulukan.

Catatan: *Editorial ini merupakan pandangan tim redaksi berdasarkan data dan fakta yang tersedia. Kami berkomitmen pada prinsip jurnalisme independen dan berimbang. Segala opini yang termuat bertujuan untuk mengangkat isu publik, bukan bentuk serangan terhadap pihak tertentu. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *