KSNews — Kepulauan Seribu bukan sekadar gugusan pulau eksotis di utara Jakarta. Ia adalah wilayah yang menyimpan dua kekuatan ekonomi strategis: cadangan migas lepas pantai dan potensi wisata bahari kelas dunia. Tapi pertanyaannya, mengapa kemajuan wilayah ini terasa lambat? Apakah status administratif sebagai kabupaten di bawah DKI Jakarta justru menjadi penghambat?
Di bawah laut Kepulauan Seribu, PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dan PHE OSES telah lama beroperasi, mengekstraksi minyak dan gas bumi dari blok-blok yang membentang dari Pulau Sabira hingga Pulau Untung Jawa. Dalam lansiran resmi Pemkab, PHE OSES bahkan meraih penghargaan atas kontribusinya dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Tapi ironisnya, pendapatan asli daerah (PAD) Kepulauan Seribu tetap nihil. Semua royalti dan pajak migas masuk ke kas provinsi.
Di sisi lain, sektor wisata bahari terus berkembang. Pulau Tidung, Pari, Pramuka, dan Harapan menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Data dari Dinas Pariwisata DKI menunjukkan kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu sempat melonjak hingga 800 ribu orang per tahun. Tapi infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, dan transportasi laut masih tertinggal. Warga Pulau Sebira bahkan masih membeli solar Rp12.000 per liter.
Potensi wisata bahari Kepulauan Seribu diakui dalam berbagai kajian akademik. Ekosistem lautnya kaya akan terumbu karang, penyu sisik, dan hutan mangrove, menjadikannya kandidat kuat untuk ekowisata berkelanjutan. Tapi pengelolaan wisata masih didominasi oleh travel agent daratan, sementara pelaku lokal hanya jadi penyedia homestay dan perahu sewaan.
Dalam laporan investigatif KSNews, lebih dari 50% pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu telah dikuasai oleh swasta dan privat, menjadikan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap ruang hidup dan sumber daya. Krisis agraria ini diperparah oleh lemahnya regulasi dan minimnya keberpihakan kebijakan.
Lantas, mungkinkah otonomi penuh menjadi jalan keluar? Jika Kepulauan Seribu menjadi provinsi atau daerah otonom khusus, maka pengelolaan migas, pariwisata, dan tata ruang bisa lebih berpihak pada masyarakat lokal. PAD bisa digunakan langsung untuk membangun dermaga, sekolah, dan layanan kesehatan di pulau-pulau terpencil.
Namun, tantangan otonomi bukan tanpa risiko. Kepulauan Seribu hanya memiliki dua kecamatan dan enam kelurahan, dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa. Skala administratif yang kecil bisa menyulitkan pembentukan struktur pemerintahan baru. Belum lagi potensi konflik kepentingan antara pusat, provinsi, dan swasta.
Di sisi lain, semangat otonomi bisa dimulai dari penguatan kewenangan kabupaten administratif, seperti pengelolaan retribusi wisata, pengawasan lingkungan, dan pengaturan zonasi pulau. Tanpa harus memisahkan diri, Kepulauan Seribu bisa menuntut desentralisasi fiskal dan regulatif yang lebih adil.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, dalam kunjungan terakhirnya ke Pulau Tidung, sempat menyatakan komitmen terhadap SPBU Apung dan kapal antar-pulau. Tapi warga menuntut lebih dari sekadar janji. Mereka ingin akses langsung terhadap hasil bumi dan laut mereka sendiri.
Editorial ini bukan ajakan untuk memisahkan diri, tapi refleksi atas ketimpangan struktural yang terus berlangsung. Kepulauan Seribu punya sumber daya, punya masyarakat yang tangguh, dan punya mimpi. Yang kurang hanyalah kendali atas nasibnya sendiri.
Jika otonomi penuh belum memungkinkan, maka otonomi fungsional harus diperjuangkan. Karena pulau-pulau ini bukan hanya halaman belakang Jakarta, tapi wajah depan Indonesia sebagai negara maritim.
Disclaimer: Tulisan editorial ini disusun berdasarkan lansiran resmi, wawancara terbatas, dan penelusuran data publik dari berbagai sumber terpercaya. KSNews berkomitmen menyampaikan analisis kritis dan reflektif atas isu-isu strategis di Kepulauan Seribu, tanpa bermaksud mengarahkan opini atau mengambil posisi politik tertentu.