Scroll untuk baca artikel
LINGKUNGAN

Reklamasi Tanpa Aturan, Transmigrasi Lokal, dan Tanya Besar tentang Keadilan Pulau

Avatar photo
×

Reklamasi Tanpa Aturan, Transmigrasi Lokal, dan Tanya Besar tentang Keadilan Pulau

Sebarkan artikel ini
dok. Istimewa
dok. Istimewa

KSNews — Dari Pulau Kelapa Dua hingga Pulau Rempang, konflik agraria di pulau-pulau kecil Indonesia makin mencuat. Dalam kuliah hybrid bertajuk “Ekologi Politik Pulau Kecil di Indonesia”, pakar agraria IPB University, Dr. Rina Mardiana, membedah fakta di lapangan yang menunjukkan kesenjangan besar antara masyarakat lokal dan kekuatan modal. Kepulauan Seribu jadi salah satu sorotan utama.

Dr. Rina mengungkap bahwa hanya 11 dari 110 pulau di Kepulauan Seribu yang masih berpenghuni. Sisanya terkikis sedimentasi dan eksploitasi pasir laut. Ironisnya, wilayah utara justru memiliki kepadatan penduduk tertinggi di seluruh pulau kecil Indonesia. “Tekanan penduduk ini mendorong reklamasi dari bawah, kadang melanggar batas konservasi,” ujar Rina.

Ia menyebut praktik reklamasi terbagi dua: oleh komunitas lokal yang mencari ruang hidup, dan oleh investor yang mengejar profit wisata. Pulau Kelapa Dua diperluas oleh komunitas Bugis dengan reklamasi mandiri, sementara Pulau Pari digempur oleh klaim lahan swasta atas nama industri pariwisata. “Pertanyaannya: mengapa perlakuannya berbeda? Siapa yang boleh membangun, dan siapa yang harus pindah?” tanyanya tajam.

Kasus Pulau Rempang di Kepulauan Riau memperlihatkan konflik yang lebih sistemik. Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City menggusur masyarakat adat Melayu yang telah mendiami 16 kampung tua. Relokasi paksa bahkan dikemas dalam istilah “transmigrasi lokal” — sebuah eufemisme yang menurut Rina menyamarkan realitas pemindahan tanpa konsensus. “Ini bukan transmigrasi, tapi penghilangan ruang hidup,” jelasnya.

Dalam proses pengukuran lahan, masyarakat menghadapi aparat dan minimnya kajian dampak lingkungan. Bahkan akses perairan oleh warga pindahan ke wilayah tangkap Tanjung Banon memicu konflik horizontal. “Tanpa dialog bermakna, pembangunan bisa menjadi pemicu keretakan sosial-ekologis,” tambahnya.

Dr. Rina mengingatkan bahwa keberhasilan pariwisata di Pulau Penyengat justru karena pengelolaan berbasis kearifan lokal dan partisipasi warga. Ia menyebut pendekatan investasi harus dilandasi prinsip keadilan, bukan sekadar proyek ekonomi.

Dalam konteks Kepulauan Seribu, reklamasi mandiri warga dianggap ilegal, sementara investor mendapat izin. Dalam konteks Rempang, masyarakat diminta pindah demi visi industri hijau. “Narasi pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat pulau hanya melahirkan penolakan,” tegasnya.

KSNews melihat bahwa akar persoalan terletak pada absennya mekanisme keadilan ruang dan akses, serta belum jelasnya posisi hukum masyarakat pulau kecil sebagai pemilik, bukan hanya penghuni.

Tantangan ke depan bukan sekadar menyelamatkan ekosistem pulau, tapi menyelamatkan manusia pulau itu sendiri. Karena jika ruang hidup dirampas dan suara masyarakat dibungkam, maka laut yang biru akan berganti jadi luka yang dalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *