Scroll untuk baca artikel
INSPIRASI

Saat Laut Menjadi Saksi, Buku Menjadi Senjata: Kisah Genketa

×

Saat Laut Menjadi Saksi, Buku Menjadi Senjata: Kisah Genketa

Sebarkan artikel ini
Duta Baca Kepulauan Seribu 2025, Genketa Fairezea. Dok. istimewa
Duta Baca Kepulauan Seribu 2025, Genketa Fairezea. Dok. istimewa

KSNews – Pulau bukan halangan, dan laut bukan batasan. Begitulah cara Genketa Fairezea memandang literasi—bukan sebagai kegiatan eksklusif di kota besar, tetapi sebagai denyut kehidupan yang harus tumbuh bahkan di gugusan kepulauan yang tersebar di utara Jakarta.

Sejak awal, Genketa bukan sosok yang mencari gelar. Ia justru ditemukan oleh komunitas karena kegigihannya: membimbing anak-anak tetangga membaca, menyemangati mereka dalam tantangan 30 hari membaca, dan menanamkan kecintaan pada buku di tengah derasnya gempuran teknologi.

“Duta Baca bukan kebanggaan buat dipajang,” ujarnya dengan tenang. “Ini amanah. Amanah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa membaca itu penting, bahkan di tempat yang terpencil sekalipun.”

Pilihannya menjadi pendidik memupuk kepekaannya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akses terhadap buku masih menjadi kemewahan dan minat baca sering kalah oleh gawai dan media sosial. Maka ia merancang strategi: membaca interaktif berbasis teknologi, permainan literasi, hingga sesi diskusi buku yang menyenangkan.

Bersama sahabatnya, Endang Proborini, Genketa memberanikan diri mengikuti seleksi Duta Baca Kepulauan Seribu 2025. Dari seleksi ketat itu, terpilihlah ia—bukan karena pencitraan, melainkan karena konsistensi.

Kini, ia bermimpi membangun komunitas baca dan forum diskusi di Pulau. Ia ingin menjadikan literasi sebagai kebiasaan bersama dari anak-anak hingga orang tua, dari pembacaan cerita di rumah hingga klub buku remaja. Ia ingin menyalakan kembali cahaya di rumah-rumah, bukan dari layar gawai, tetapi dari halaman-halaman yang membuka dunia.

“Kalau kita bisa menyisihkan waktu untuk TikTok atau reels, kenapa tidak untuk satu bab buku? Satu cerita bisa mengubah cara pandang kita—dan mungkin hidup kita,” tuturnya.

Ia juga menggandeng relawan PMI Kepulauan Seribu, tempat ia berkiprah, untuk menjadi duta-duta literasi kecil. Ia percaya bahwa perubahan tidak harus menunggu anggaran besar atau program pemerintah. Perubahan bisa dimulai dari seorang warga, satu rak buku, dan satu cerita yang dibacakan dengan cinta.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *