KSNews — Rapat koordinasi lintas instansi yang digelar pada Kamis, 31 Juli 2025, di Rupatama Polres Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya menghasilkan kesepakatan penting terkait transportasi laut warga Kepulauan Seribu.
Setelah polemik penghentian mendadak yang membuat puluhan penumpang terlantar, forum yang dihadiri KSOP Muara Angke, KSOP Kepulauan Seribu, Dishub DKI Jakarta, Polres Kepulauan Seribu, Polres Pelabuhan Tanjung Priok, serta dua operator kapal—PT Samudra Sumber Artha (SSA) dan PT Antar Pulau Seribu (APS)—memutuskan sebanyak 23 unit kapal tradisional kembali diizinkan beroperasi melayani angkutan penumpang dan logistik.
Kapal-kapal tersebut boleh berlayar dari Dermaga Kali Adem Muara Angke dengan syarat mematuhi ketentuan berlayar sesuai PM 28 Tahun 2022, serta menjalin kerja sama asuransi dengan PT Jasa Raharja.
Namun, penjualan tiket hanya diperbolehkan secara online melalui SSA dan APS, sedangkan penjualan offline masih dilarang sampai izin penggunaan lokasi tiket dari Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) diterbitkan.
“Kami berkomitmen menyusun sistem yang adil—warga harus tetap bisa pulang, logistik pulau tidak boleh terhenti,” ujar salah satu perwakilan forum usai rapat.
Kesepakatan juga memberi tenggat waktu dua bulan (hingga 30 September 2025) bagi SSA dan APS untuk melengkapi seluruh perizinan penjualan tiket. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, izin operasi akan dievaluasi ulang.
Musleh, Direktur Operasional PT Antar Pulau Seribu (APS), menyebut langkah ini menjadi angin segar setelah beberapa hari warga kehilangan kepastian transportasi. “Kami siap mengikuti aturan dan melengkapi dokumen. Yang terpenting, penumpang bisa kembali terlayani, dan logistik pulau tidak terganggu,” ujarnya.
Namun, permasalahan ini menyoroti sisi lain yang luput dari perhatian. Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi D, yang juga warga Kepulauan Seribu sekaligus Wakil Ketua Komisi D, tidak terlihat memberikan peran maupun advokasi nyata.
Padahal, secara politik ia memiliki pengaruh besar, dan secara personal diketahui memiliki usaha kapal penumpang tradisional di Kepulauan Seribu. Absennya suara dari pihak legislatif ini menambah kekecewaan masyarakat yang berharap ada pembelaan langsung di tengah krisis transportasi.
Sebelumnya, KSNews mencatat netizen memadati ruang komentar di media sosial dengan kritik pedas. Mereka menilai proses modernisasi transportasi berjalan tanpa inklusi dan minim sosialisasi, sehingga menimbulkan dampak buruk bagi warga.
Dengan keputusan ini, diharapkan pelayanan kapal tradisional kembali normal, setidaknya untuk sementara, sambil menunggu penyelesaian masalah administrasi.
Namun, ke depan, warga mendesak agar peraturan dan modernisasi sistem transportasi dijalankan dengan transisi yang manusiawi, serta melibatkan aspirasi masyarakat Kepulauan Seribu sebagai pihak yang paling terdampak.