KSNews — Indonesia kerap mengusung jargon teknologi tinggi dan kemajuan digital untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Namun, seperti bayangan yang terpantul di genangan air, kenyataan di lapangan justru kerap memantulkan ironi. Di Kepulauan Seribu—yang hanya sejengkal dari Istana Negara—ribuan warga masih harus membeli air minum kemasan dengan harga dua hingga tiga kali lipat dari daratan.
Ketimpangan ini bukan soal akses ekonomi semata. Ia menggambarkan kegagapan struktural dalam menyentuh kebutuhan dasar masyarakat di wilayah pinggiran. Ketika air bersih masih menjadi komoditas mahal di negeri bahari, maka narasi kemajuan terasa seperti gema kosong.
Dari kegelisahan itu, lahirlah Solar Still, sebuah teknologi sederhana namun revolusioner. Penyuling air laut ini tidak butuh listrik PLN, tidak memakai mesin diesel, dan tak menambah jejak karbon. Ia cukup bermodalkan dua hal yang melimpah di negeri ini: sinar matahari dan air laut.
Dikembangkan oleh anak-anak bangsa, teknologi ini diuji coba pertama kali di Kepulauan Seribu. Pilihannya bukan kebetulan. Daerah ini adalah mikrokosmos dari ribuan pulau kecil lainnya di Indonesia—terasing dari pembangunan, tapi kaya potensi dan harapan.
Solar Still bukan sekadar alat teknis. Ia adalah pernyataan politik: bahwa keadilan ekologis dan kemandirian energi dapat dimulai dari pinggiran, tanpa menunggu restu pusat. Teknologi ini tidak hadir dengan seremoni—ia datang dengan dampak senyap tapi dalam.
Dengan kapasitas menyuling air secara pasif, Solar Still menawarkan model solusi yang tidak membebani warga. Ia bisa berdiri tanpa infrastruktur besar, tanpa operator khusus, dan tanpa biaya operasi harian. Dalam satu bentang kaca, ia menawarkan harapan tentang air, energi, dan kelangsungan hidup.
Jika direplikasi secara sistematis, teknologi ini berpotensi membalik arsitektur pembangunan Indonesia. Bukan lagi Jakarta yang menyuapi pulau-pulau kecil, tapi pulau-pulau kecil yang memelopori inovasi berkelanjutan. Ini bukan utopia—ini peluang nyata yang hanya butuh kemauan politik dan kolaborasi lintas sektor.
Tak hanya itu, Solar Still menyimpan potensi diplomasi air. Di tengah krisis iklim global dan melonjaknya kebutuhan akan sumber air alternatif, negara-negara di Afrika, Asia Selatan, hingga Pasifik akan menoleh pada Indonesia. Bukan karena besarnya PDB, tapi karena keberanian menyelesaikan masalah dengan akal sehat ekologis.
Bayangkan jika suatu hari Indonesia mengekspor desain Solar Still, bukan alat militer. Bayangkan jika kepulauan kecil yang dulu dianggap beban logistik justru melahirkan inovasi yang dibutuhkan dunia. Di situlah letak kekuatan sesungguhnya dari revolusi hening ini.
Tantangannya tentu masih ada: dari validasi ilmiah, pembiayaan massal, hingga perawatan jangka panjang. Tapi jika semua itu dibarengi partisipasi warga, dukungan akademisi, dan kepekaan birokrasi, maka Solar Still akan menjadi sejarah yang tidak hanya ditulis, tapi dialami.
Revolusi ini memang tidak berisik. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia menyalurkan energi tanpa suara, mendidihkan air tanpa gaduh, dan memberi arah tanpa intimidasi. Dari pinggiran negeri, Solar Still membuka cakrawala baru—tentang bagaimana bangsa besar dimulai dari keberpihakan pada kebutuhan terkecil rakyatnya.
Penulis adalah Ketua Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kepulauan Seribu : Muhammad Rodin
*Tulisan ini merupakan kiriman dari pembaca sebagai bagian dari keterlibatan komunitas dalam menyampaikan opini, pengalaman, atau informasi penting. KepulauanSeribu.News menghargai kontribusi dan berkomitmen untuk memberikan ruang bagi suara masyarakat.