Scroll untuk baca artikel
EDITORIAL

SPBU Apung di Kepulauan Seribu: Janji yang Masih Mengapung

Avatar photo
×

SPBU Apung di Kepulauan Seribu: Janji yang Masih Mengapung

Sebarkan artikel ini

KSNews — Sudah lebih dari lima tahun wacana pendirian SPBU Apung di Kepulauan Seribu bergulir. Dari rapat koordinasi lintas instansi hingga kunjungan pejabat tinggi, gagasan ini terus digaungkan sebagai solusi atas mahalnya harga BBM bagi nelayan. Namun hingga kini, realisasi SPBU Apung masih jalan di tempat—menjadi simbol harapan yang belum berwujud.

Janji yang Berulang, Realisasi yang Tertunda

Pada awal 2020, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu bersama Pertamina dan koperasi lokal mulai membahas pendirian SPBU Apung sebagai bentuk pemerataan akses energi. Bahkan disebutkan bahwa kebutuhan solar subsidi nelayan mencapai 3.616 kiloliter per tahun, dengan harga eceran di pulau-pulau bisa tembus Rp12.000 per liter—hampir dua kali lipat dari harga resmi.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo pun sempat menegaskan komitmennya untuk menjadikan SPBU Apung sebagai solusi permanen. Dalam kunjungan ke Pulau Onrust, ia menyebut bahwa distribusi BBM harus menjadi prioritas dan SPBU tidak bisa hanya dipusatkan di satu titik.

Namun, hingga pertengahan 2025, statusnya masih dalam tahap “penggodokan teknis”. Rapat demi rapat digelar, pemetaan kebutuhan dilakukan, dan skema distribusi dibahas. Tapi nelayan tetap harus menyeberang jauh ke Rawa Saban atau Kronjo, Tangerang, hanya untuk mengisi bahan bakar.

Proyek Keadilan atau Sekadar Seremonial?

Ketua Dewan Kabupaten Kepulauan Seribu, Munawar, menyebut SPBU Apung sebagai “proyek keadilan”. Ia menyoroti ketimpangan akses energi dan dominasi tengkulak yang membuat nelayan tercekik biaya operasional. Namun, jika proyek ini benar-benar menyasar keadilan, mengapa prosesnya begitu lambat?

Kendala perizinan memang disebut sebagai salah satu hambatan. Koperasi pengusul harus mengantongi izin ruang laut, jalur pelayaran, dan persetujuan dari berbagai kementerian. Tapi bukankah seharusnya pemerintah daerah bisa menjadi fasilitator aktif, bukan sekadar pengamat proses?

Kritik atas Minimnya Aksi Nyata

Masalahnya bukan pada ide, tapi pada eksekusi. SPBU Apung bukan barang baru—bahkan pernah beroperasi sebentar pada 2001–2002 sebelum akhirnya berhenti karena masalah biaya. Artinya, model ini sudah pernah dicoba, dan seharusnya bisa dievaluasi untuk diperbaiki, bukan diulang sebagai wacana kosong.

Jika Pemkab benar-benar serius, transparansi progres dan timeline harus dibuka ke publik. Keterlibatan koperasi lokal dan pengawasan digital seperti yang dijanjikan harus segera diuji, bukan sekadar dipresentasikan.

Kesimpulan: Jangan Biarkan Harapan Nelayan Terus Mengapung

SPBU Apung adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Ia menyangkut keberlangsungan ekonomi pesisir, efisiensi operasional nelayan, dan keadilan distribusi energi. Pemerintah harus berhenti menjadikan proyek ini sebagai bahan pidato dan mulai menjadikannya kenyataan.

Jika tidak, maka SPBU Apung akan terus menjadi metafora yang menyakitkan: sebuah janji yang mengapung di lautan harapan, tanpa pernah berlabuh di dermaga kenyataan.

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini berdasarkan informasi publik yang tersedia. Pandangan yang disampaikan bersifat interpretatif dan tidak mewakili lembaga atau pihak manapun. Pembaca disarankan melakukan verifikasi tambahan sebelum menarik kesimpulan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *