Scroll untuk baca artikel
INSPIRASI

Syukur Saiman Bongkar Luka Rekrutmen PPSU di Kepulauan Seribu

Avatar photo
×

Syukur Saiman Bongkar Luka Rekrutmen PPSU di Kepulauan Seribu

Sebarkan artikel ini
dok. Istimewa
dok. Istimewa

KSNews — Di balik gemuruh janji pelayanan publik, suara tajam dari pesisir mulai bergema. Abdul Syukur Saiman, seorang akademisi asli Kepulauan Seribu—membongkar sisi kelam dari rekrutmen tenaga PPSU dan PJLP tahun 2025. Dengan gaya khasnya yang intelektual dan menggelitik, ia menyebut sistem itu sebagai “gergaji para politisi yang menitipkan hewan-hewan ternaknya.”

“Publik interest kami dirusak oleh kuasa titipan,” tegas Syukur. “Warga pulau tidak sedang meminta merombak nasib. Kami hanya ingin menggeser sedikit dari nelayan menjadi petugas kebersihan yang legal dan bermartabat.”

Pemprov DKI Jakarta membuka 1.023 kuota PPSU secara serentak. Namun Kabupaten Kepulauan Seribu, yang terdiri dari puluhan pulau dan ribuan warga, hanya menerima jatah 14 orang. Bagi Syukur, ini bukan soal angka. Ini soal rasa keadilan yang dibelah oleh ketimpangan sistemis. “Di Pulau Lancang saja, hanya dibuka satu formasi, padahal kandidatnya sepuluh. Sedih betul,” ujarnya getir.

Ia menyebut praktik rekrutmen penuh desakan elit lokal dan pejabat publik yang tak berdaya. “Mereka jadi pion-pion catur yang disandera kepentingan oknum politikus. Para abdi negara berubah menjadi pelayan ‘raja-raja tengil’ di antara penjilatnya.”

Frasa-frasa pedas seperti “seniority jadi imam dalam otoritas area kecil,” dan “dalangnya terlalu superior,” mencerminkan frustrasi terhadap sistem kekuasaan lokal yang membuat kesempatan kerja di wilayah kepulauan menjadi ajang kompromi politik, bukan pemetaan kebutuhan riil.

Menurut Syukur, dampaknya tidak berhenti di meja seleksi. “Nampak konflik horizontal mulai sulit dihindari,” katanya. “Ketika sapu menjadi rebutan, masyarakat yang tadinya bersatu bisa terbelah. Ini kerusakan sosial yang tidak disadari.”

Ia menyerukan audit menyeluruh terhadap sistem rekrutmen PJLP dan PPSU, khususnya untuk wilayah pesisir. Bagi Syukur, pendekatan kuota yang datar dan administratif harus diganti dengan sistem berbasis kebutuhan spasial, keadilan ekologis, dan partisipasi masyarakat.

“Warga pulau juga ingin ikut menjaga kota. Tapi kesempatan itu disumbat oleh mekanisme titipan dan rasa takut pejabat terhadap tekanan elite,” ucapnya tajam. “Kami tidak anti kota. Tapi jangan perlakukan pulau sebagai sisa ibu kota.”

Dengan gaya tutur yang liris sekaligus tegas, Syukur Saiman bukan hanya menyuarakan kritik. Ia menggugat paradigma. Bahwa di ujung Jakarta, ada warga yang percaya sapu bukan cuma alat kebersihan—tapi simbol keinginan ikut membangun, jika diberi ruang yang adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *