Scroll untuk baca artikel
SOLUSI

Tanggul Dibangun, Tapi Siapa yang Mengawasi? Ini Pendapat Pemerhati Lingkungan

×

Tanggul Dibangun, Tapi Siapa yang Mengawasi? Ini Pendapat Pemerhati Lingkungan

Sebarkan artikel ini
dok. Istimewa
dok. Istimewa

KSNews — Proyek pembangunan tanggul dan pemecah ombak senilai Rp82,4 miliar di Kepulauan Seribu telah masuk tahap pelaksanaan. Sosialisasi telah digelar, alat berat mulai didatangkan, dan koordinat teknis dipasang di tiga kelurahan: Pulau Kelapa, Pulau Tidung, dan Pulau Lancang. Namun di balik bunyi gemuruh pengerjaan dan angka-angka proyek, muncul satu pertanyaan sederhana: bagaimana peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pembangunan?

Iskandar, pemerhati lingkungan yang telah bertahun-tahun mengikuti dinamika kebijakan di Kepulauan Seribu, menyampaikan pandangannya kepada KSNews. Menurutnya, proyek ini tidak mungkin dibatalkan karena sudah melalui proses panjang, mulai dari perencanaan hingga penganggaran. Namun yang tak boleh diabaikan, kata dia, adalah dampak sosial dan kultural terhadap masyarakat yang selama ini menjadi penjaga ekosistem pesisir.

“Sosialisasi bukan sekadar membacakan gambar teknis atau memindahkan jalur proyek,” ujar Iskandar. Ia menyebut bahwa saat forum digelar, muncul sejumlah keberatan dari warga, termasuk soal batas lahan dan permintaan pergeseran jalur. Beberapa masukan itu, katanya, tidak seluruhnya direspons terbuka oleh pelaksana kegiatan di lapangan.

Ia menekankan pentingnya peran masyarakat sebagai pengawas sosial. Bukan hanya mereka yang tergabung dalam organisasi formal atau RT/RW, tapi juga warga individu yang merasa punya hak atas tanah, udara, dan laut yang dikerjakan proyek. “Kalau warga tidak tahu menahu, bagaimana mereka bisa jaga kalau ada kesalahan?,” tegasnya.

Salah satu isu krusial yang muncul ialah soal patok proyek. Menjelang eksekusi teknis, muncul sejumlah patok yang dipasang di atas lahan yang diklaim warga. Ada yang menyebutnya ilegal, ada juga yang menyebut hanya salah koordinat. Namun tanpa penjelasan terbuka dari pemerintah dan pihak Taman Nasional, isu ini justru membuka ruang curiga dan potensi konflik.

Ia juga menyoroti bahwa tugas komunikasi bukan hanya milik kepala pelaksana atau konsultan. Pemerintah, kata dia, harus menunjuk juru bicara resmi yang menjawab pertanyaan warga secara terbuka, menjelaskan progres, dan melaporkan temuan. “Jangan sampai semua orang memberi jawaban berbeda, tapi tak ada yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Ditanya soal posisinya, Iskandar menegaskan bahwa ia bukan penolak pembangunan. Ia hanya ingin proyek ini berjalan dengan hati-hati dan menghormati hak warga yang telah lebih dulu tinggal di pulau-pulau ini sebelum kertas rencana digambar. “Saya hanya menjaga agar tidak ada yang dilangkahi diam-diam,” ujarnya.

Menurutnya, proyek ini punya potensi manfaat, tapi juga punya risiko tinggi jika dikawal dengan logika cepat selesai dan minim refleksi sosial. “Yang dibangun bukan cuma tanggul, tapi ruang hidup masyarakat. Dan itu tidak boleh dibungkam oleh cor beton,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *