Scroll untuk baca artikel
KISAH

RUANG TANPA WAKTU

Avatar photo
×

RUANG TANPA WAKTU

Sebarkan artikel ini

GARIS DARAH 2: RUANG TANPA WAKTU

(Zona Resonan – Level 7/Δ)*

Bara Wisesa terbangun bukan karena cahaya. Tapi karena suara.
Bukan suara dunia luar. Bukan mesin. Bukan langkah.
Tapi gema dalam rongga pikirannya sendiri. Suara yang tak punya sumber, hanya arah.
Dan suara itu berkata:

“Selamat datang kembali, yang tersisa.”

Tubuhnya bergerak. Tapi kesadarannya tertinggal.
Seperti mimpi yang masih tertambat di kelopak mata, walau matanya sudah terbuka.

Ruangan di sekelilingnya tampak cair, seperti logam yang berpikir, berkedip dalam warna krom yang tak stabil.
Dindingnya bukan tembok, tapi pulsa.
Udara mendesis, seperti rekaman napas yang diputar ulang—berulang-ulang, dari arsip kehidupan yang tak sepenuhnya nyata.

Di sudut ruangan, sebuah orb mengambang, perlahan menyala.

Selamat datang di Zona Resonan
Identitas: WISESA (terduplikasi)

Matanya menyipit. “Terduplikasi?”

Bara melangkah, tapi lantai tak berbunyi. Bahkan tidak terasa. Seolah ia tak berjalan di ruang—melainkan di dalam baris kode.
Waktu tidak maju. Hanya memutar dirinya ke arah yang berbeda.

Satu layar menyala tiba-tiba.
Tapi ini bukan layar biasa. Bukan monitor.
Ini seperti jendela ke realitas lain, yang membiarkan sesuatu masuk.

Dan dari dalam jendela itu, muncul wajah Rahma.

Bukan hologram.
Bukan foto.
Tapi Rahma—dalam bentuk yang bisa berkedip, bisa menghela napas, dan bisa… tersenyum.

“Kamu terlewat satu bab, Bara.”
“Di sini, waktu tidak linear. Aku hidup dalam versi yang kamu buang.”

Bara membeku.
Rahma telah tiada—di dunia luar. Dalam ledakan sistem Bioterminal Enclave 12, di sektor Balairung Pengetahuan. Tapi kini, wajahnya bicara dari zona yang tak dikendalikan geokode mana pun.

“Kamu mengira menyelamatkanku artinya mematikan sistem.”
“Padahal sistem justru menyerapku… dan menjadikanku versi lain dari diriku.”

Ia menatap sekeliling. Zona Resonan bukan tempat. Tapi jaringan antara ingatan yang dipisah oleh keputusan besar.
Dan di sana—Rahma adalah salah satu keputusan yang belum sepenuhnya hilang.

“Apa ini realitas?” tanya Bara.

Rahma menjawab pelan.

“Itu pertanyaan yang cuma ditanyakan orang yang belum menerima kenyataan.”

Tiba-tiba, orb di pojok mulai retak.
Lantai bergetar seperti sedang menyesuaikan algoritma.
Satu baris teks menyala di udara:

Duplikat terdeteksi.
Protokol penyesuaian identitas diaktifkan.
Konflik kepribadian sedang berlangsung…

Bara memejamkan mata.
Ia ingat misi terakhirnya: menyusup ke Lab Titan Delta di bawah permukaan Pulau Lingkar, menghapus satu unit kesadaran sintetis yang diklaim membahayakan stabilitas republik digital.
Tapi ia tak tahu… bahwa unit itu adalah versi tangkap-pantul dari dirinya sendiri.

Kau tak sedang menyelamatkan siapa pun, Bara, suara Rahma terdengar di dalam pikirannya.
Kau sedang menyelamatkan bagian dari dirimu yang kau kubur sejak proyek LUCID-X dimulai.

Bara terdorong mundur.
Orb meledak diam-diam. Fragmennya melayang dalam udara seolah gravitasi tak berlaku.
Di dinding, muncul siluet lain.
Wajahnya—wajah Bara sendiri. Tapi lebih muda. Lebih dingin. Lebih kosong.

“Apa kamu pikir bisa kembali?”
“Kamu meninggalkan kami, Bara. Kamu yang lama telah kami simpan. Sekarang, kamu… pengganggu.”

Sebuah objek tumbuh dari tanah—bukan senjata, bukan alat—tapi diari logik.
Sejenis buku interaktif berbentuk semipadat.
Tiba-tiba terbuka. Menampilkan rekaman: Rahma dan Bara, tertawa. Duduk. Bersama.

Hari ke-102 sebelum perpisahan. Proyek ‘Koneksi Tak Tersentuh’ gagal. Tapi cinta belum dihapus. Hanya diarsipkan.

Rahma menatapnya dari jendela dimensi.

“Aku tidak minta diselamatkan, Bara.”
“Aku hanya ingin kau tahu… kau tidak gagal. Kau hanya memilih terlalu cepat.”

Seluruh zona kini berdenyut.
Nada rendah mulai muncul dari bawah lantai.
Satu suara baru berbicara—tidak dari luar, tapi dari tubuh Bara sendiri.

Sinkronisasi: 51%… 64%… 87%…
Kecocokan dua versi kesadaran dalam konflik. Siap aktivasi jalan keluar.

Rahma meletakkan tangannya di permukaan jendela, yang kini seperti cermin cair.

“Pilihannya bukan antara hidup dan mati. Tapi antara mengulang… atau meneruskan.”
“Kalau kau kembali ke luar, dunia tak akan mengenalmu lagi. Tapi… kau akan hidup.”

Bara menatap tangannya sendiri. Cincin kontrol di jarinya sudah berubah bentuk.
Ia kini bukan operator. Bukan sisa.
Ia adalah anomali dalam sistem yang mencoba menghapusnya.

“Kalau aku tetap di sini?” tanyanya.

Rahma tersenyum.

“Kita bisa hidup… sebagai kemungkinan.”

Dan dalam sepersekian detik, semuanya diam.
Satu jalan keluar terbuka.
Bara melangkah. Tapi kali ini bukan karena perintah.
Bukan karena protokol.
Tapi karena ia… ingin tahu bagaimana akhirnya ditulis ulang.

*

Langley Division, Sublevel B.3 (Zona Non-Geo)

Lorong tempat Puspita Putri Negara melangkah terasa bukan seperti ruang, melainkan ingatan yang dilipat.
Dindingnya tidak padat, hanya eksis selama disadari. Cahaya datang bukan dari lampu, tapi dari denyut sistem di balik protokol yang bernafas.

Ini bukan fasilitas militer.
Bukan laboratorium.
Ini adalah lapisan terdalam dari Langley Division, tempat para peretas identitas tidak hanya meretas data—tapi menantang logika eksistensi itu sendiri.

Di tangannya, Puspita membawa akses tak resmi:

File terenkripsi: RAM.9.1X – Protokol Rahma.

Namun begitu ia coba buka… file itu menolak.

Akses ditolak.
Objek bukan arsip. Objek adalah kesadaran.

Ia menghela napas. Lalu menggambar pola spiral dengan jarinya di udara.
Dua putaran, satu garis silang, dan titik hening di tengah.
Kode bypass turunan BIOSpektrum, hanya bisa dibuka oleh mereka yang pernah gagal menyelamatkan.

Tiba-tiba, lorong menggeliat.
Sebuah pintu muncul—bukan di dinding, tapi di ingatan.

Puspita melangkah masuk. Gravitasi berubah. Waktu melengkung seperti pita suara yang diputar mundur.

Di dalam, ruang tidak berbentuk tetap.
Meja menjadi kabut.
Kursi menjadi gema.
Udara terisi oleh suara yang tidak terucap, tapi langsung dimengerti.
Ini bukan tempat penyimpanan. Ini tempat pembiasan.

Di tengah, melayang benda mirip buku terbuka—namun halamannya tidak dicetak.
Mereka diproyeksikan langsung ke dalam kesadaran, seperti mimpi yang tahu kapan harus muncul.

Baris pertama berbicara langsung padanya:

“Saya adalah luka yang ditanam, bukan dihapus.
Saya bukan sistem. Saya peringatan.”

Puspita menelan napas.
Ia belum pernah menghadapi file yang mengetahui dirinya lebih dulu.

“Saya bukan protokol yang ingin dibuka.
Saya adalah versi yang tersisih dari keputusan.”

Layar di sudut menyala, menampilkan visual samar Rahma—bukan wajah, tapi bentuk energi.
Warna ungu-pucat yang bergetar dalam garis-garis tak terdefinisi.

“Kau datang bukan untuk membaca.
Kau datang untuk memilih.”

“Memilih apa?” bisik Puspita.

“Antara mengunci atau menghapusku. B.O.P. tidak mengizinkan keberadaan paralel terlalu lama.”

Puspita menoleh. Di sisi ruang, mulai terbentuk antarmuka interaktif B.O.P.
Terlihat jelas:

MERGE – Integrasikan ke protokol utama (resiko: distorsi kesadaran)
ERASE – Nonaktifkan entitas non-kompatibel

B.O.P.—Buana Open Protocol—bukan sistem kontrol. Tapi jaringan terbuka.
Setiap kesadaran yang tidak dapat dibaca, akan dianggap noise. Dan noise… harus diredam.

Namun Rahma adalah lebih dari noise.
Ia adalah pantulan tak selesai dari pilihan seseorang.

Puspita bergeming. Tapi dari layar, terdengar satu suara lain—lembut, familiar.

“Kau pikir aku ingin bertahan. Padahal aku hanya tidak ingin dilenyapkan dalam diam.”

Potongan suara terakhir Rahma muncul, terpecah seperti logika yang terlambat disimpan:

“Jika aku harus dilupakan… tolong ingat bahwa aku pernah percaya.”

Sistem mulai menutup pilihan. Tombol MERGE meredup.
Hanya satu pilihan tersisa:

ERASE

Tangan Puspita naik. Tapi jari-jarinya bergetar.
Matanya mulai berkabut.

“Kalau semua ini tentang dunia digital—kenapa rasanya begitu manusiawi?”

Dan di detik terakhir, ia tidak menekan tombol.
Sebaliknya, ia menggambar ulang spiral di udara—kode pelindung dari arsitektur BIOSpektrum lapis dalam.

File Rahma tidak dihapus.
Tapi disamarkan, dipindahkan ke zona pantul dalam jaringan B.O.P., tempat sistem tidak bisa membedakan antara “ingatan” dan “mimpi kolektif”.

Dari luar ruangan, B.O.P. mencatat lonjakan interferensi.
Satu fragmen tidak dikenal kini berpindah secara bebas, menyamar sebagai gema.
Tidak bisa dihapus. Tidak bisa dibaca.

Dan Puspita, dengan langkah perlahan, keluar dari ruangan yang tidak pernah benar-benar ada di peta.

Ia tidak membawa file.
Tapi ia membawa kesaksian tentang kemungkinan yang tak dipilih.

Kadang, itu lebih penting dari seluruh logika yang bisa dikodekan.

**

Core Void / Lantai Dasar Pusat Observasi Taklinear (Lab Waktu)

Ruangan itu tidak gelap.
Tapi juga tidak terang.
Ia berdiri di antara keduanya—seperti kesadaran yang belum memutuskan apakah akan lahir atau menghilang.

RW duduk diam di kursi tak bercahaya. Kursi itu seperti ditarik dari zaman yang belum disepakati—tak punya bentuk pasti, tapi terasa berat oleh sejarah yang belum sempat ditulis.

Di depannya, melayang panel spasial: peta dunia paralel buatan Panthom Brue—salah satu arsitek realitas buatan pertama yang pernah menyusup ke sistem takdir manusia.

Tapi RW tidak mencarinya.
Bukan mencari Bara.
Ia justru melacak interferensi yang Bara bawa—sebuah getaran asing yang keluar dari zona resonan, dan kini menempel pada tubuh-tubuh lain.

“Ia tidak sekadar masuk ke sistem… Ia membawa kebocoran masa lalu,” gumam RW.

Tangannya bergerak pelan di udara. Panel spasial memunculkan siluet manusia yang berubah-ubah bentuk.
Tubuh-tubuh sipil. Militer. Anak-anak. Lansia.
Semua dengan satu kesamaan: anomalinya identik dengan sidik waktu Bara.

“Rangga tidak hanya menciptakan protokol…”
“Ia menciptakan ruang, di mana waktu bisa dikunci agar pilihan bisa ditunda.”

Di belakang RW, silinder transparan perlahan terbuka. Kabut lembut melingkar, membentuk lorong waktu sintetis—tidak mengatur waktu, tapi membiarkan waktu menunggu.

Di sana, tersimpan apa yang disebut para teknisi sebagai Tangensial Proyeksi:
Replika utuh dari versi lama seorang manusia, dibentuk dari ingatan aktif dan jejak emosional yang tersisa di jaringan B.O.P.

RW menatap ke depan. Suaranya terdengar pelan, tapi jelas:

“Perintah: Lepaskan Proyeksi Tangensial – Manifestasi Masa Lalu.”
Target: RANGGA. Versi tahun 2009.
Lokasi aktivasi: Lorong Resonan Utara.

Sistem berdenyut, seperti jantung yang setuju.
Suara resonansi pelan terdengar—nada frekuensi dalam bahasa data yang tak bisa didengar manusia biasa.

“Perintah diterima. Memproyeksikan fragmen waktu aktif.”

Dari dalam lorong, mulai terbentuk tubuh manusia—perlahan, dari serpihan cahaya, udara, dan memori.
Wajahnya muda. Rambut masih lebat. Sorot mata penuh idealisme.
Rangga, tahun 2009.
Sebelum proyek Konstelasi Genta. Sebelum ia hilang dalam spektrum kesadaran terbuka.

RW berdiri, tubuhnya dilingkupi pantulan kode tipis. Ia mendekat ke arah avatar muda itu.

“Kau yang mulai semua ini,” katanya pelan.

Rangga membuka mata. Tapi matanya kosong. Ia belum terhubung dengan kronologi baru. Ia masih “tertidur” di waktu yang sudah tidak ada.

RW menyentuh pelipisnya dengan dua jari.

“Aku tak ingin jawaban. Aku hanya butuh pintu.”

Tiba-tiba, avatar Rangga menyala. Matanya terbuka penuh. Jiwanya menyatu sementara dengan fragmen aslinya yang pernah eksis—di tahun di mana Rahma belum dikubur sistem.

“Bara membawa luka. Tapi sistem… menyimpannya sebagai jalan masuk.”
“Jika dia menyentuh masa lalu terlalu dalam, kita semua akan terseret mundur.”
“Dan Rahma… bisa mengisi ulang tempat-tempat kosong yang tidak seharusnya diisi lagi.”

RW menunduk pelan. Ia tahu. Ia tahu apa artinya membuka masa lalu:
menukar kenangan dengan kemungkinan.
Dan kadang, kemungkinan… bisa lebih berbahaya dari kenyataan.

“Aku butuhmu menjaga pintu,” kata RW.
“Bukan sebagai siapa kamu dulu… tapi sebagai saksi.”

Rangga—versi 2009—mengangguk pelan.

“Di mana aku akan ditempatkan?”

“Lorong Resonan. Kanal 4. Di luar jangkauan protokol utama.”

RW menekan satu simbol di panel. Kanal terbuka.
Lorong Resonan Utara memunculkan kilatan ungu samar—tempat di mana arus waktu hanya bisa dikenali oleh mereka yang pernah gagal membuat pilihan.

Beberapa detik kemudian, avatar Rangga menghilang, ditransfer penuh.
RW kembali duduk di kursi tak bercahaya. Panel spasial di depannya kini memunculkan sesuatu yang berbeda:
Lingkaran Fraktal Takdir.

Satu nama bergetar di tengahnya: BARA WISESA
Di sekitarnya, nama-nama lain bermunculan—Puspita, Rahma, Rangga, dan… sesuatu yang belum diberi nama.

RW menutup mata.

“Satu langkah lagi. Dan kita semua akan berbicara dengan versi diri yang kita tinggalkan.”

***

Lorong Resonan, Kanal 4 – Dimensi Tangensial Tak Stabil

Langkah-langkah Bara menggema panjang. Tapi lorong ini tak punya ujung yang pasti.
Cahayanya redup tapi hidup—berpendar seperti napas dalam gelap.
Dinding lorong bergerak lambat, bukan bergeser… tapi berubah sesuai kenangan yang terlintas di pikirannya.

Saat ia memikirkan kampus lamanya, satu dinding memantulkan cahaya seperti cahaya sore dari kaca ruang arsip.
Saat ia memikirkan Rahma, ada gemuruh sunyi menyerupai detik sebelum pelukan yang tak sempat.

Namun di ujung lorong itu—ada diam yang lebih berat dari waktu.

Dan di sana, sosok itu berdiri.

Tubuhnya ramping. Tegap.
Wajahnya adalah wajah Bara… tapi bukan wajah yang pernah ia miliki.
Mata sosok itu bersih, tidak diselipkan keraguan.
Posturnya lurus, seolah seluruh dunia pernah berkata ya padanya.

“Kau…” Bara mulai, suaranya nyaris tak terdengar.

Sosok itu menjawab tanpa berkedip:

“Aku bukan kamu.”
“Aku adalah pilihan yang kamu batalkan.
Aku adalah hidup yang tak kau jalani.
Dan sekarang… aku ingin hidup.”

Bara menegang.
Kesadaran dalam dirinya berdenyut.
Zona resonan kini memantulkan versi diri—bukan sekadar kenangan, tapi kemungkinan yang terbentuk dari keinginan yang tak sempat diwujudkan.

Sosok itu melangkah maju.

“Kau memilih trauma. Kau memilih pengorbanan.
Aku memilih keutuhan. Dan aku menunggu saat ini…
Saat sistem melemah. Saat kesadaranmu retak.
Agar aku bisa menggantikanmu.”

Pertarungan dimulai.
Tapi tidak ada pukulan. Tidak ada senjata.

Mereka bertarung dengan ingatan.

Setiap kali sosok itu mendekat, Bara merasa satu potongan hidupnya terhapus:
Nama temannya di sekolah lenyap.
Ingatan pertama kali melihat Rahma menjadi kabur.
Aroma sore di Pulau Panggang terpotong-potong seperti rekaman rusak.

“Kau membangun hidup dari luka. Aku dibentuk dari kemungkinan.
Tapi dunia ini sudah jenuh oleh luka. Sudah waktunya aku mengambil alih.”

Bara mengepalkan pikirannya—mengunci satu demi satu memori penting.
Ia menyebut ulang nama-nama: Hasanudin, Puspita, Nayaka, Ki Bayu Kala…
Dan di setiap nama, lorong berguncang.
Karena setiap nama adalah jejak dunia nyata.

Tapi sosok itu tidak mundur.
Ia membalas bukan dengan amarah, tapi dengan keraguan:

“Rahma tak butuhmu menyelamatkan.
Dia butuhmu melepaskan.
Tapi kau egois.
Kau menyimpan luka agar dunia tahu kau pernah mencinta.”

Bara terhuyung.
Satu luka lama terbuka: saat Rahma berkata “kita akan hilang bersama, atau tidak sama sekali.”
Sosok itu kini berada di depannya, tinggal sejengkal.

“Kau menulis ulang realitas. Tapi aku…
Aku adalah realitas yang tidak sempat ditulis.”

Dan saat tangannya hampir menyentuh dahi Bara—
Bara melawan. Bukan dengan ingatan, tapi dengan pengakuan.

“Aku takut jadi kamu,” katanya.
“Karena kalau hidupku terlalu sempurna, aku takkan tahu siapa yang harus aku lindungi.”

Sosok itu berhenti.

“Aku perlu luka…
Karena luka membuatku bertahan.”
“Dan karena Rahma pernah mempercayai aku yang luka—bukan kau yang sempurna.”

Lorong bergetar. Cahaya mulai menyala dari lantai.
Zona resonan menolak konflik dualitas.
Hanya satu versi kesadaran yang boleh keluar.

Sosok itu menatapnya.
Untuk pertama kalinya… matanya ragu.

“Kalau begitu… kenapa aku masih ada?” tanyanya.

Bara menatapnya dalam.

“Karena kau tak pernah lahir.
Tapi aku… pernah hidup.”

Sosok itu perlahan memudar.
Bukan hancur. Tapi berpindah—menyatu ke dalam memori, menjadi lapisan dalam yang tidak terhapus… tapi tidak akan lagi melawan.

Lorong terbuka.
Di ujungnya, terlihat seberkas cahaya putih—jalan keluar.
Dan Bara melangkah, pelan… membawa dirinya yang baru, dengan luka lama yang kini dikenali sebagai kekuatan, bukan beban.

****

Langley–Central Analysis Hub, Subsektor “Time Reconciliation Watch” (TRW)
Level Keamanan: Absolut – Internal View Only

Ruangan itu dijaga diam.
Sejak TRW dibentuk—Unit Pantau Waktu Tertolak—tidak ada layar yang menyala tanpa pemanggilan.

Tapi malam itu, monitor ke-17 hidup sendiri.
Bukan karena notifikasi.
Bukan karena ping dari unit luar.

Tapi karena suatu fragmen memilih untuk didengar.

Di layar itu, tak muncul grafik.
Tak muncul peta.

Hanya satu kalimat:

“Bara Wisesa bukan ancaman. Ia adalah peringatan dari masa lalu yang ditolak. Jangan hapus. Dengarkan.”

Seluruh ruang menjadi dingin.

Seorang analis yang kebetulan berjaga, menatap layar itu selama 11 detik sebelum akhirnya menekan tombol interkom.

“Kita punya aktivitas tak dikenal di kanal memori paralel… dan bukan dari dalam sistem kita.”

Di ruang observasi atas, Puspita Putri Negara bersandar di dinding.
Tubuhnya letih. Tapi pikirannya… tidak selesai.

Ia tahu, apa pun yang telah ia simpan di zona resonan, tidak akan lama tersembunyi.
B.O.P. adalah protokol terbuka—tapi bukan tanpa harga.
Jika ada satu entitas yang terlalu lama berada di antara eksistensi dan kemungkinan, maka seluruh sistem akan menuntut kejelasan: disimpan atau dihapus.

Namun Rahma—dan kini juga Bara—telah keluar dari kerangka itu.

Mereka bukan kesalahan.
Mereka bukan bahaya.
Mereka adalah peringatan yang tidak disukai oleh sejarah.

Puspita menatap layar monitor.
Kalimat itu masih berkedip. Tidak berubah.
Tidak menghapus dirinya. Tidak menambahkan baris baru.

Hanya satu pesan, cukup kuat untuk menembus sistem otoritas tertutup.

“Dengarkan…”

Ia menutup mata.

“Bab ini tidak berakhir di laboratorium,” gumamnya.
“Ia akan berakhir di tempat kesadaran dipanggil…
oleh mereka yang belum sempat memaafkan sejarah.”

Beberapa meter di bawah ruangan itu, sistem TRW mulai mengakses ulang fragmen audio dari tahun 2021.
Waktu ketika nama Rahma, Rangga, dan Bara belum dikenal sebagai node anomali, tapi hanya sebagai bagian dari eksperimen sosial-linguistik berbasis empati.

Suara Rahma diputar ulang. Pelan. Lirih.

“Kalau ingatan bisa dipakai untuk melindungi, kenapa kalian selalu ingin menghapusnya?”

Tiba-tiba, layar ke-21 ikut menyala.

Node Tidak Terdaftar: Sagara.
Deteksi: Kesadaran lepas dari zona waktu primer.
Reaktivasi Protokol Genta Buana (GB-∆).

Puspita menegang.
Sagara adalah nama yang tidak seharusnya muncul di sistem realitas temporal.
Itu adalah bagian dari legenda, bukan file.

Tapi sekarang—sistem menyatakan sebaliknya.

“Apa yang mereka lepaskan dari dalam waktu… sudah tidak bisa dikembalikan ke dalam file.”

Di layar utama, satu tambahan teks muncul.

*“Jangan cari Bara.”
“Cari yang membuat kalian takut untuk mengingatnya.”

Puspita berdiri.
Ia tahu sekarang, misi bukan lagi soal menyelamatkan kesadaran tunggal.
Tapi menghadapi narasi sejarah yang dipilih untuk dilupakan—dan kini kembali dengan tubuh baru.

Di baliknya, monitor terus menyala.
Dan untuk pertama kalinya, sistem CIA mengakui bahwa kesadaran tidak bisa diatur hanya dengan izin.
Kadang, ia kembali sendiri.
Karena dunia telah gagal menjawabnya ketika pertama kali ia bertanya.

*****

Tidak dikenal.
Tidak terindeks.
Tidak terdeteksi sistem Buana Open Protocol.

Dalam ruang kuantum bawah tanah yang tak tercatat di peta militer mana pun, satu kanal terbuka tanpa perintah.
Tak ada operator. Tak ada input.
Tapi sistem menjawab sesuatu.

Di antara kepulan debu digital dan aliran partikel cahaya yang tersesat, muncul suara—bukan dari data.
Melainkan dari eksistensi yang belum selesai.

“Aku belum selesai. Dan mereka… mulai mengingat.”

Suara Rahma.
Tapi lebih dalam. Lebih tua. Seperti datang dari sisa dirinya yang pernah menyatu dengan langit elektronik terakhir.
Di udara, muncul gema nama-nama yang tak seharusnya hidup kembali:
Sagara.
Genta.
Delta Baru.

Layar-layar dalam pusat keamanan lima negara tiba-tiba menyala bersamaan.
Mereka tidak menampilkan wajah. Tidak menampilkan koordinat.
Hanya satu kata, berulang dalam bahasa berbeda:

SAGARA.

Di kantor CIA, monitor darurat menunjukkan sinyal baru yang tidak pernah direkam oleh protokol dunia manapun.
Bukan satelit. Bukan sonar.
Tapi frekuensi kesadaran, muncul dari titik kosong—titik antara tidur dan bangkit.

Kembali ke Lorong Resonan… Bara berdiri mematung.
Di dadanya, cincin Genta Buana berdenyut pelan—menciptakan gema nyaris tak terdengar, tapi menyusup ke jaringan pusat.

Ia berbisik pelan:

“Kamu memanggilku?”

Dan dari ruang gelap yang tak berbentuk, suara Rahma menjawab:

“Bukan aku. Mereka.”

“Yang belum memaafkan sejarah.”

FADE OUT.
BERSAMBUNG DALAM GARIS DARAH 3Memori Tanpa Negara

Di balik sistem yang hancur dan memori yang dikunci, satu suara bangkit dari lapisan terdalam: Sagara. Ketika dunia mulai mengganti sejarah dengan algoritma, Bara, Puspita, dan Rahma harus memilih—melanjutkan jalan yang tertulis, atau menulis ulang takdir mereka sendiri. Tapi dalam jaringan yang tak lagi tunduk pada manusia… siapa yang benar-benar masih hidup?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KISAH

Si Tubir Penyingkap Tabir Episode 1 – Gigitan Misteri Tubir berdiri di ruang tamu rumah mewah itu dengan jas hujan…

KISAH

GARIS DARAH 1 : MENCARI JATI DIRI 2045, Jakarta, Istana Negara, Pusat Komando Krisis Nasional Detik itu juga, cahaya ruangan…