KSNews — Sosok muda bernama Quizal Mirosyavir bersinar di ajang POPKAB Kepulauan Seribu 2025 lewat permainan sepak bola yang memikat. Ia bukan hanya kapten, tapi arsitek permainan SMAN 69 Jakarta hingga meraih juara.
Di tengah sorak sorai kemenangan, publik Kepulauan Seribu sempat percaya bahwa ini adalah tanda kebangkitan olahraga lokal. Tapi satu pertanyaan tak bisa dihindari: ke mana hilangnya tradisi emas kita dalam cabang-cabang khas pulau—dayung, renang, voli pantai, dan gulat?
Ketua KONI Kepulauan Seribu, Ayub Chalik, menyebut Quizal sebagai bibit alami. “Kalau dibina serius, bisa ke nasional,” ujarnya. UKT 1 Kepulauan Seribu juga menyatakan optimisme bahwa POPKAB akan menjadi sistem kompetisi berjenjang yang membuka jalan bagi atlet pelajar. Namun, sistem yang berjenjang juga harus ditopang oleh keberlanjutan—dan di sanalah letak masalahnya.
Dalam lima tahun terakhir, tak satu pun prestasi dari cabang khas pesisir—dayung, renang, gulat, ataupun voli pasir—masuk radar publik. Padahal, Kepulauan Seribu pernah dikenal sebagai salah satu lumbung atlet cabor air.
Bahkan hingga 2015, nama atlet dayung asal Pulau Harapan sempat mengisi podium DKI di ajang Porprov. Kini, tak ada nama tersisa dalam dokumen prestasi daerah. Yang tersisa hanya foto-foto lusuh di ruang sekretariat KONI dan dermaga-dermaga sunyi yang dulu jadi arena latihan.
Beberapa pelatih senior menyebut hilangnya pembinaan pasca-pandemi sebagai titik awal kemunduran. “Dulu kita bisa latih anak-anak setiap minggu, sekarang anggaran turun, fasilitas minim, dan pelatih dipindahtugaskan,” kata Ujang, mantan pelatih voli pasir. Sementara itu, pelajar yang berminat justru kehilangan motivasi karena tak tahu harus mulai dari mana.
Alih-alih menyentuh akar budaya olahraga pulau, POPKAB tahun ini lebih menonjolkan cabang-cabang “umum” seperti sepak bola dan badminton. Belum tampak upaya menggali potensi lokal sebagai kekuatan identitas. Bahkan cabang gulat—yang pernah jadi tradisi turun-temurun dari Pulau Panggang—tidak lagi masuk agenda.
“Kesannya bagus, ya. Tapi ini lebih seperti pesta olahraga daripada strategi pembinaan jangka panjang,” ujar seorang pengurus klub lokal yang minta namanya disamarkan. Ia juga menyoroti absennya skema rekrutmen pelatih lokal dan tidak adanya database atlet veteran.
Keberhasilan Quizal memang harus diapresiasi. Tapi bagi warga pulau yang lama menggenggam dayung, berenang melawan arus, dan menggali pasir demi lapangan voli darurat—kemenangan ini terasa asing. *Bukan karena kurang bangga, tapi karena mereka tak lagi punya panggung untuk bicara.*
KONI dan UKT 1 berjanji akan menyusun pembinaan lanjutan. Tapi pembinaan bukan hanya soal anggaran—ia soal ingatan, soal konsistensi, soal keberanian melawan tren. Karena kalau laut dan pasir sudah lama jadi rumah kita, kenapa justru kita makin asing pada olahraga yang lahir dari sana?